Advertisement

About us

Renungan

Dr. Yusuf Estes lahir tahun 1944 di Ohio, AS. Tahun
1962 hingga 1990 ia bekerja sebagai musisi di gereja, penginjil
sekaligus mengelola bisnis alat musik piano dan organ. Awal 1991 ia
terlibat bisnis dengan seorang pengusaha Muslim asal Mesir bernama
Muhammad Abd Rahim. Awalnya ia bermaksud meng-Kristenkan pria Mesir itu.

***

Nama saya Yusuf Estes. Saya lahir di Ohio, besar dan bersekolah di Texas. Dalam tubuh saya mengalir darah Amerika, Irlandia dan Jerman hingga sering disebut WASP (white anglo saxon protestant). Keluarga kami adalah penganut Kristen yang sangat taat. Tahun 1949, ketika masih di bangku SD kami pindah ke Houston, Texas. Saya dan keluarga sering hadir secara rutin ke gereja. Malah saya dibaptis pada usia 12 tahun di Pasadena, masih Texas.

Sebagai seorang remaja, saya punya keinginan untuk bisa berkunjung ke
banyak gereja di berbagai tempat guna menambah pengalaman dan
pengetahuan Kristen. Kala itu saya benar-benar haus untuk mempelajari
ajaran Kristen. Tidak hanya ajaran Kristen, bahkan ajaran Hindu, Budha,
Yahudi,hingga Metafisika juga saya pelajari. Hanya satu ajaran yang saya
tidak begitu serius dan bahkan tidak menaruh perhatian sama sekali,
yakni Islam.

Saya suka musik terutama klasik. Hingga saya sering dapat undangan
menyanyi di berbagai gereja. Di kisaran tahun 1960-an saya mengajar
musik dan tahun 1963 punya studio sendiri di Laurel, Maryland yang saya
beri nama "Estes Music Studios." Hingga tahun 1990 atau hampir 30 tahun
lamanya saya bersama dengan ayah mengelola bisnis entertainment. Kami
juga punya toko alat musik piano dan organ di Texas, Oklahoma hingga
Florida.

Ayah dulu pernah aktif dalam aneka kegiatan gereja. Dari sekolah minggu
hingga aktifitas penggalangan dana bagi pengembangan sekolah Kristen.
Dia sangat menguasai Bibel dan juga terjemahannya. Melalui ayah pula
saya belajar Bibel dalam berbagai versi dan terjemahan.

Ayah saya, seperti kebanyakan pendeta lainnya, selalu mendapat
pertanyaan:" Apakah Tuhan yang menulis Bibel?" Biasanya jawabannya
adalah: "Bibel adalah rangkaian kata inspirasi seorang lelaki yang
berasal dari Tuhan." Itu bermakna, menurut saya, manusialah yang menulis
Bibel. Tentu saja, selama bertahun-tahun, jawaban itu menimbulkan banyak
tanggapan bahkan penolakan. Namun ayah selalu menambahkan, "Akan tetapi
(Bibel) itu tetap kata dari Tuhan yang diilhamkan kepada manusia."
Begitulah.

Mencari Tuhan

Beranjak dewasa dan memiliki usaha sendiri, akhirnya saya "menyerah".
Saya tidak mungkin jadi seorang pendeta. Saya takut bermental hipokrit.
Saya belum bisa menerima tentang konsep Tuhan itu satu namun pada saat yang sama Dia menjadi "Tiga" atau Trinitas. Saya selalu bertanya-tanya, jika Dia "Tuhan Bapa" bagaimana mungkin pada saat yang sama juga menjadi "Anak Tuhan?"

Selama bertahun-tahun saya mencoba mencari Tuhan dengan berbagai cara. Saya pelajari dan cek dalam agama Budha, Hindu Metafisika, Taoisme,
Yahudi dan banyak lagi. Bertahun-tahun saya pelajari hingga mendekati
usia ke-50 saya belum menemukan siapa Tuhan yang sebenarnya. Lalu saya
mencoba bergaul dengan banyak kalangan, termasuk dengan para evangelis
dan penginjil yang punya pengalaman di berbagai tempat dan negara. Kami
sering melakukan perjalanan jauh. Namun tidak ada jawaban yang
memuaskan. Tidak ada yang mau menjawab siapa yang menulis Bibel
sebenarnya, kenapa

Bibel banyak versi padahal bukunya sama, kenapa banyak sekali terdapat kesalahan versi terkini dengan versi terdahulu.

Dan, bahkan,

dalam berbagai versi Bibel, saya tidak menemukan satupun kata "Trinitas."

Kolega saya akhirnya tidak mampu meyakinkan saya. Mereka lelah mencari
jawaban yang tepat atas pertanyaan-pertanya an "nyeleneh" tersebut.
Sampai akhirnya datanglah satu kejadian yang merupakan awal perjumpaan
saya dengan Islam. Kejadian yang akhirnya meruntuhkan semua
konsep-konsep dan keyakinan-keyakinan yang telah membebani saya selama
bertahun-tahun. Solusi dan jawaban atas pertanyaan-pertanya an saya
datang justru dengan cara, yang menurut saya, aneh dan ganjil.

Jumpa pria Mesir

Ceritanya, awal 1991 ayah mencoba menjalin bisnis dengan seorang
pengusaha dari Mesir. Ia meminta saya untuk bertemu dengan pria Mesir
itu. Bagi saya inilah kali pertama mengadakan kontak bisnis
internasional. Yang saya tahu tentang Mesir adalah piramid, patung
Sphinx, dan sungai Nil. Hanya itu. Lalu ayah menyebut bahwa pria itu
seorang Muslim.

Apa? Islam? Saya tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Menjalin
hubungan dengan orang Islam? Spontan batin saya menolak. Tidak, no way!
Saya mengingatkan ayah agar membatalkan kontak dengan pria itu dengan
menyebut hal-hal negatif tentang orang Islam. Orang Islam teroris,
pembajak, penculik, pengebom, dan entah apa lagi. Saya sebut juga mereka (orang Islam) tidak percaya dengan Tuhan, tiap hari kerjanya mencium tanah lima kali sehari, dan menyembah kotak hitam di tengah padang pasir (maksudnya Ka'bah-red.) . Tidak! Saya tidak mau jumpa orang itu.

Ayah tetap mendesak. Ia menyebut orang itu sangat ramah dan baik hati.
Akhirnya saya menyerah dan bersedia bertemu dengan pengusaha Islam
tersebut. Tapi untuk pertemuan tersebut saya buat semacam "aturan"
khusus. Antara lain; saya mau bertemu dengannya pada hari Minggu setelah
kegiatan di gereja, sehingga punya "kekuatan" kala bertemu nanti. Saya
musti bawa Bibel, pakai baju jubah dan peci ala gereja bertuliskan
"Yesus Tuhan Kami." Istri dan kedua anak perempuan saya juga harus
datang di saat pertemuan pertamakali dengan orang Islam itu.

Tibalah hari H. Ketika saya masuk toko, langsung saya tanya pada ayah
mana orang Islam itu. Ayah menunjuk seorang laki-laki di dekatnya.
Mendadak saya dilanda kebingungan. Ah sepertinya pria itu bukan si Islam
yang dimaksud. Hati saya membatin. Penampilannya tidak seperti yang saya
bayangkan sebelumnya. Laki-laki asal Mesir itu tidak berjanggut, bahkan
tidak punya rambut sama sekali alias botak. Ia tidak bersorban dan tidak
pula berjubah. Malah pakai jas.

Spontan saya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Mengamati
orang-orang yang hadir. Saya mencari-cari orang yang pakai jubah dengan
surban melilit di kepalanya, berjenggot lebat serta alis mata tebal.
Khas orang Arab. Namun tidak ada seorangpun yang memenuhi kriteria saya.
Yang lebih mengejutkan, pria itu malah menegur saya dengan sangat ramah.
Ia menyambut dan menjabat tangan saya dengan hangat. Namun saya tidak
terkesan dengan tingkahnya itu. Hanya ada satu pikiran, yakni bagaimana
meng-Kristenkan pria Mesir itu.

Interogasi

Selepas perkenalan singkat, saya pun mulai "menginterogasi" pria Mesir
tersebut. Anda percaya dengan Tuhan? tanya saya mengawali. Pria itu
menjawab ya. Saya mencocornya lagi dengan rentetan pertanyaan lain
seperti keyakinan Islam kepada Nabi Adam, Ibrahim. Musa, Daud, Sulaiman
hingga Isa Al-Masih. Saya dibuat terpana kala mendengar jawabannya. Ia
menjelaskan Islam percaya dengan Nabi-Nabi yang saya sebut tadi. Bahkan
makin ternganga kala diberitahu Islam juga beriman dengan salah satu Kitab Allah yakni Injil dan Nabi Isa adalah salah satu utusan-Nya. Fantastik!

Yang bikin saya syok adalah tatkala mengetahui ternyata Islam juga
percaya dengan Almasih (baca: Nabi Isa). Dalam Islam ternyata Isa
diimani; sebagai utusan Tuhan dan bukan Tuhan, lahir tanpa seorang ayah,
ibunya adalah Maryam. Ini sudah lebih dari cukup bagi saya untuk
mempelajari Islam lebih lanjut. Ah padahal sebelumnya saya sangat benci
dengan Islam. Kini saya harus mempelajarinya? Bagaimana mungkin?

Akhirnya kami jadi sering bertemu dan berdiskusi terutama tentang
keimanan.. Pria ini sangat lain. Ramah, kalem, dan terkesan pemalu. Ia
mendengar dengan serius setiap kata-kata saya dan tidak menyela
sedikitpun. Lama kelamaan saya jadi menyukai pria itu. Namun waktu itu
yang masih terpikir oleh saya adalah mencari cara untuk mengajaknya
masuk Kristen. Orang ini sangat potensial menurut saya.

Menjadi mitra bisnis

Saya akhirnya setuju untuk menjalin bisnis dengan pengusaha Mesir itu.
Kami sering mengadakan perjalanan bisnis di sepanjang kawasan Utara
Texas. Sepanjang hari kami justru banyak berdiskusi hal keyakinan Islam
dan Kristen ketimbang masalah bisnis. Kami bicara tentang konsep Tuhan,
arti hidup, maksud penciptaan manusia dan alam serta isinya, tentang
Nabi, dan banyak lainnya lagi.

Satu ketika saya dapat kabar Muhammad bermaksud pindah rumah. Selama ini
ia tinggal bersama dengan seorang temannya. Ia berencana untuk tinggal
di mesjid selama beberapa waktu. Saya dan ayah mengajaknya tinggal di
rumah kami saja. Ia pun setuju.

Satu ketika salah seorang teman saya -seorang pendeta- mengalami
serangan jantung. Kami membawanya ke rumah sakit terdekat dan tinggal
beberapa saat disana. Saya pun musti menjenguknya beberapa kali dalam
seminggu. Muhammad sering saya ajak serta. Rupanya teman saya itu tidak
begitu suka. Bahkan ia dengan nyata menolak berdiskusi apapun tentang
Islam. Hingga satu hari datang pasien baru. Seorang pria yang kemudian
tinggal satu kamar di rumah sakit dengan teman saya. Ia menggunakan
kursi roda. Saya berkenalan dengan pria itu. Sekilas tampaknya pria itu
seperti sedang depresi berat.

Pria di kursi roda mencari Tuhan

Akhirnya saya tahu pria itu kesepian dan depresi berat serta butuh teman
dalam hidupnya. Jadilah saya mencoba mengingatkan dia tentang Tuhan.
Saya kisahkan tentang Nabi Yunus yang hidup dalam perut ikan. Sendirian
dalam gelap namun masih ada Tuhan bersamanya.

Selepas mendengar kisah itu, pria berkursi roda itu mendongakkan
kepalanya seraya meminta maaf. Ia menceritakan bahwa ada sedikit masalah
yang melandanya. Selanjutnya ia ingin mengakuinya kesalahannya itu di
hadapan saya. Saya berujar bahwa saya bukan seorang pendeta. Pria itu
justru menjawab, "Sebenarnya saya dulu seorang pendeta."

"Apa? Saya barusan menceramahi seorang pendeta? Saya benar-benar syok
kala itu. Kenapa jadi begini? Apa yang terjadi dengan dunia ini
sebenarnya?

Rupanya pendeta itu -namanya Peter Jacobs- adalah mantan misionaris yang
telah berkeliling Amerika Latin dan Meksiko selama 12 tahun. Kini ia
malah depresi dan butuh istirahat. Saya menawarkannya untuk tinggal di
rumah kami. Dalam perjalanan ke rumah, saya berdiskusi dengan Peter
tentang Islam. Saya sungguh terkejut kala diberitahu para pendeta
Kristen juga belajar tentang Islam dan bahkan sebagiannya ada yang doktor di bidang itu. Ini hal baru bagi saya tentunya.

Sejak itu, Muhammad, Peter dan saya sering terlibat diskusi hingga larut
malam. Satu ketika masuk ke masalah kitab-kitab suci. Saya takjub kala
Muhammad menceritakan bahwa dari pertama diturunkan hingga saat ini atau selama 1400 tahun Al-Quran hanya ada satu versi. Al-Quran dihafal oleh jutaan Muslim di seluruh dunia dengan satu bahasa yaitu Arab. Sungguh mustahil. Bagaimana mungkin kitab suci kami bisa berubah-ubah dengan berbagai versi sementara Al-Quran tetap terpelihara?

Sang pendeta masuk Islam!

Satu hari pendeta Peter Jacobs ingin melihat apa yang dilakukan orang
Islam di Mesjid. Ia pun ikut Muhammad. Sepulang dari sana saya bertanya
pada Peter ada kegiatan apa di sana. Peter menyebut tidak ada acara
apa-apa di mesjid. Mereka (orang Islam) cuma datang dan shalat saja.
Tidak ada acara seremoni apapun. Apa? tidak ada ceramah atau nyanyian
apapun?

Beberapa hari kemudian Peter minta ikut lagi ke mesjid. Namun kali ini
lain. Mereka tidak pulang-pulang hingga larut malam. Saya khawatir
sesuatu terjadi terhadap mereka. Akhirnya Muhammad kembali dengan
seorang pria berjubah. Saya sungguh terkejut dengan laki-laki yang
datang bersama Muhammad itu. Ia mengenakan jubah dan topi putih. Ah
rupanya si Peter. Ada apa dengan kamu tanya saya. Jawaban Peter bak
petir di siang bolong. Ia menyebut sudah bersyahadah. Oh Tuhan! Apa yang
terjadi? Pendeta masuk Islam?

Saya benar-benar syok dan semalaman tidak bisa tidur memikirkan hal itu.
Saya ceritakan kejadian tersebut kepada istri. Istri saya justru
menyatakan ia juga ingin masuk Islam, karena itulah yang benar. Oh
Tuhan! Saya benar-benar tidak percaya.

Saya turun ke bawah dan membangunkan Muhammad seraya minta waktu diskusi
dengannya. Sepanjang malam hingga subuh kami bertukar pendapat. Muhammad
minta izin shalat Subuh. Ketika itu saya mendapat firasat, kebenaran
telah datang. Saya harus membuat pilihan. Lalu saya keluar rumah. Persis
di belakang rumah, saya memungut sepotong papan. Lalu saya letakkan
papan itu menghadap ke arah orang Islam shalat. Saya pun bersujud
menghadap kiblat dan meminta petunjuk-Nya.

Sekeluarga masuk Islam

Pagi itu, pukul 11, saya bersyahadah di hadapan dua orang saksi, mantan
pendeta Peter Jacobs dan Muhammad Abd. Rahman. Alhamdulillah, di usia
ke-47 saya jadi seorang Muslim. Beberapa menit kemudian istri saya juga
ikut bersyahadah. Ayah baru memeluk Islam beberapa bulan kemudian. Sejak
itu saya dan ayah sering ke mesjid terdekat di kota kami. Ayah mertua
saya akhirnya juga mengikuti kami. Di usianya yang ke-86 ia memeluk
Islam. Mertua saya meninggal persis beberapa bulan selepas bersyahadah.
Semoga Allah ampuni dia. Amiin.

Adapun anak-anak saya pindahkan dari sekolah Kristen ke sekolah Islam.
Setelah sepuluh tahun bersyahadah, mereka telah mampu menghafal beberapa
juz Al-Quran.

Sejak itu saya habiskan waktu hanya untuk Islam. Saya berdakwah ke
mana-mana, hingga ke luar Amerika. Banyak sudah yang memeluk Islam. Baik
dari kalangan birokrat, guru, dan pelajar dari berbagai agama. Dari
Hindu, Katolik, Protestan, Yahudi, Rusia Orthodok, hingga Atheis. Saat
ini saya juga mengelola sebuah website yakni Islamalways. com yang punya
motto terkenal, "where we're always open 24 hours a day and always
plenty of free parking." (kami buka 24 jam sehari dan banyak tempat
parkir gratis).

Islam telah mengubah cara saya melihat kehidupan ini dengan lebih
bermakna. Semoga Allah pelihara hidayah yang sudah ada pada kita dan
sebarkan hidayah itu ke seluruh alam. Amin.
Renungan Renungan Reviewed by ASYIMAR on 13.11 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Find us on Facebook