Advertisement

About us

Kehidupan adalah Keragaman


Oleh : Teguh Rachmanto[1]

What has religion really done for the good? ( apa yang telah dilakukan agama demi kebaikan ? ) Ungkapan provokatif ini disampaikan Omar Khan dalam bukunya Synergy Channeling The Energies of Transformation yang mengacu pada banyaknya kekerasan yang dilakukan atas nama agama.

Dalam hal ini Indonesia mempunyai daftar panjang kekerasan yang melibatkan sentimen agama. Pasca pelepasan Timor Timur dari Indonesia kerusuhan besar. Hampir 20 % populasi terbunuh, ribuan umat Islam terusir dari tempat tinggal mereka. Semenjak 1999 Ambon yang selama ini relative tenang juga membara akibat kobaran konflik umat Islam dan warga Krstiani.Kejadian serupa juga terjadi di Halmahera, Sampit, dan Poso. Semua wilayah ibarat tumpukan jerami di tengah panas matahari yang sewaktu-waktu akan terbakar dan menghanguskan apa saja di sekelilingnya.

Penyebab utama dari gejolak massa kadang-kala sulit ditentukan. Seringkali merupakan campuran antara kepentingan politik, perbedaan tingkat ekonomi, asal-asul etnik, perbedaan agama dan lain-lain. Hal ini diperparah dengan pemberitaan media yang tidak mengidentifikasi secara tepat penyebab terjadinya konflik, sekalipun ada kemungkinan bahwa agama menjadi penyebab utamanya.

Ada sebuah paradoks yang selalu berputar-putar di dalam kesadaran kita sebagai umat beriman : Kalau semua agama, aliran kepercayaan, sekte-sekte, dan kelompok ritual senantiasa mengajarkan kebaikan, mempromosikan cinta dan meninggikan kemanusiaan lalu kenapa kekerasan masih saja terjadi diantara mereka ?

Kiranya ”fanatisme buta”lah yang menjadi pokok penyebab kelompok yang satu melakukan kekerasan atas kelompok lain, menyingkirkan kelompok yang lain dengan pemberian atribut abangan, kafir, sekuler, sesat, dan sejenisnya. Padahal fanatisme selalu kaku jika dihadapkan pada realitas keragaman yang ada. Sebabnya mudah dikenali bahwa dalam fanatisme buta orang mengira hanya ada satu kebenaran mutlak ( whole-truth ) yang boleh diyakini, selain itu bisa dianggap sebagai lawan. Keanekaragaman harus dibasmi, pluralisme dianggap tidak perlu, konyol dan menjengkelkan. Kebenaran seolah tinggal pakai, dengan mengabaikan ”proses” sebagai keniscayaan. Padahal dengan cara itu, kebenaran hanya merupakan produk dari luar yang dipaksakan tanpa pencarian dari dalam.

Jauh-jauh hari Alfred North Whitehead pernah mengingatkan kita bahwa dalam kehidupan di dunia ini tidak ada kebenaran mutlak ( whole-truth); semua kebenaran adalah separo kebenaran ( half-truths ). System nilai, system ritual, system pemikiran maupun system kelembagaan yang dianut satu kelompok mungkin berbeda dengan kelompok yang lain. Dan perbedaan itu tidak mungkin dapat dihindari lagi. Jangankan perbedaan antara system kepercayaan Islam dan Kristen, misalnya, diantara umat Islam sendiripun tak luput dari perbedaan. Rasulullah juga pernah mengingatkan umatnya agar melihat perbedaan lebih sebagai rahmah, sebagai bentuk kasih sayang Allah pada hamba-Nya, dibandingkan sebagai alasan pembenar terjadinya kekerasan satu sama lain.

Kasus penyerangan kantor PB.Ahmadiyah beberapa saat yang lalu menarik untuk disimak kembali. Ketika sebagian umat Islam melakukan aksi brutal sebagai bentuk penolakan atas faham Ahmadiyah tidak serta merta membuat seluruh pengikut Ahmadiyah “bertaubat”. Sebab keyakinan mereka bahwa ajaran yang dianutnya benar sama besarnya dengan keyakinan umat Islam lain yang menganggap bahwa ajaran Ahmadiyah itu sesat. Dalam ilmu vector dijelaskan bahwa apabila ada dua gaya yang mempunyai besar sama namun berlawanan arah (similiar in magnitude but opposite in direction ) jika dijumlahkan maka resultant gayanya sama dengan nol. Artinya jika terdapat dua pihak yang sama-sama yakin akan kebenaran masing-masing namun berbeda paham jika keduanya “ngotot” dan “menyesatkan” ajaran yang lain maka yang terjadi adalah perselisihan tak berujung, hasilnya adalah NOL. Sehingga mereka yang coba memperlakukan fahamnya sebagai kebenaran mutlak (whole-truth ) itulah yang berperan sebagai syaitan. Bukankah tindakan menyerang, merusak gedung, membakar buku-buku perpustakaan, melakukan sweeping, tidak pantas dilakukan oleh manusia beriman?

Richard Brodie dalam bukunya Virus of The Mind mengungkap bahwa salah satu perangkap terbesar dalam hidup ini adalah berkutat memecahkan hal-hal yang dianggap persoalan ( perceived problem ) dan mengabaikan persoalan yang lebih mendesak. Dan perangkap tersebut adalah keinginan untuk mencari Kebenaran Mutlak. Disebutkan olehnya bahwa mencari Kebenaran Mutlak tak ubahnya seperti menjawab pertanyaan tak bermakna terbesar (the biggest meaningless problem). Selama kita mengalami kecenderungan tersebut kita akan menjadi santapan buku-buku rohani terlaris, sekte-sekte, aliran-aliran kepercayaan baru, kelompok-kelompok ritual yang makin hari makin bertambah banyak jumlahnya. Padahal hari ini kita semua menghadapi krisis energi, mahalnya biaya pendidikan, bahaya korupsi yang semakin akut dan seonggok problem penting lainnya yang berada tepat di depan kepala kita.

Fanatisme buta memalingkan setiap pemeluk agama dari tugas sucinya sebagai khalifah di muka bumi dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Selain itu fanatisme buta telah memperangkap pemeluknya untuk lebih memecahkan hal-hal yang dianggap pesoalan dibanding menjawab tantangan-tantangan yang lebih mendesak. Keduanya saling berhubungan karena kualitas kita sebagai khalifah di muka bumi ini ditentukan oleh kemampuan kita dalam menjawab setiap detil problem kemanusiaan yang dihadapi. Bagaimana mungkin agama menjadi rahmat jika pengikutnya masih terbelenggu dalam kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, bahkan masih melakukan tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama itu sendiri ?

Pada titik inilah pentingnya saling mengenal dan saling menghormati perbedaan satu sama lain. Sayangnya, meskipun dalam kurikulum pendidikan formal dan nonformal secara teoretis kita diajarkan untuk menghormati perbedaan pendapat, tetapi secara praksis ternyata menghormati pendapat bukanlah perkara gampang. Dalam kenyataannya, beberapa kelompok orang menganggap merekalah yang paling berhak menempati predikat ”benar” dalam menafsirkan agama ( baca: Tuhan ), bahkan menjadi kebenaran itu sendiri. tuggut harga diri kmanusiaan diatas klaim kebenaran dan keselamatan atas kelompok tertentuSatu hal yang bisa diharapkan hanyalah kemerdekaan yang bisa dinikmati semua manusia tanpa terkecuali. Diantaranya adalah kemerdekaan untuk berargumentasi, menjelaskan yang bijak dari yang sesat, dari siapapapun kebenaran itu datang. Saat itulah kita menikmati kedewasaan beragama dalam keragaman. Life is plurality, death is uniformity. Kehidupan adalah keragaman. Hanya kematian sajalah yang seragam. Mereka yang menginginkan keseragaman hanyalah mereka yang menginginkan kematian bukan kehidupan yang lebih baik.


CURRICULUM VITAE

Nama : Teguh Rachmanto

Usia : 25 tahun

Alamat : Bratang Gede VI i no 59 Surabaya

Alamat email : teguh_r@asiamail.com

Telp : 0818308723

Status : Mahasiswa Fakultas Teknologi Kelautan

Jurusan Teknik Perkapalan ITS

No rekening : Bank BNI 056007562053901 a/n : Ahmad Muhyiddin

Aktivitas Organisasi :

  • PMII Komisariat Sepuluh Nopember
  • Staf Capacity Building di Ins@n ( Institut Studi dan Aksi Kemanusiaan ). Sebuah

LSM yang bergerak di bidang pendidikan. Ins@n selama ini aktif memberikan bea studi bagi siswa tak mampu dan mengadakan pelatihan-pelatihan penunjang pendidikan. Sekarang sedang mengelola perpustakaan komunitas, PUSPITA, yang berbasis di daerah Gunung Anyar, Surabaya.

Surabaya, 28 Juli 2005

Salam Perkenalan

Teguh Rachmanto



[1] Penulis adalah mahasiswa Fakultas Teknologi Kelautan -ITS.

Kehidupan adalah Keragaman Kehidupan adalah Keragaman Reviewed by ASYIMAR on 14.58 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Find us on Facebook