Advertisement

About us

Kesabaran

Cerita Tentang Kesabaran

Oleh : Kang Jalal

***
Ada sebuah riwayat tentang kesabaran yang diceritakan dalam kitab Jihadun Nafs (2) karya Ayatullah Mazhahiri: Dimasa Rasulullah, ada perempuan yang memiliki anak kecil. Perempuan ini seorang muslimah. Ia tidak bisa membaca dan menulis tapi ia mukmin yang sejati. Imannya memenuhi jantung dan hatinya. Keimanannya dibuktikan dalam kesabaran ketika menghadapi ujian.

Suatu hari anaknya itu sakit sementara suaminya sedang berada di tempat jauh untuk bekerja. Ketika suaminya bekerja, si anak kecil itu meninggal dunia. Istri itu duduk di samping anaknya dan menangis sejenak. Ia terjaga dari tangisannya. Ia menyadari bahwa sebentar lagi, suaminya akan pulang. Ia bergumam, “Kalau aku menangis terus menerus di samping jenazah anakku ini, kehidupan tidak akan dikembalikan kepadanya dan aku akan melukai perasaan suamiku. Padahal ia akan pulang dalam keadaan lelah.” Kemudian ia meletakkan anaknya yang sudah meninggal itu pada suatu tempat.

Tibalah suaminya dari tempat kerjanya yang jauh. Ketika suaminya hendak masuk ke rumah, istri itu menyambutnya dengan senyum ramah. Ia sembunyikan kesedihan dan ia sambut suaminya dengan mengajaknya makan. Ia basuh kaki suaminya itu. Suaminya berkata, ”Mana anak kita yang sakit?” Istrinya menjawab, “Alhamdulillah ia sudah lebih baik.” Istri itu tidak berbohong karena anak kecilnya sudah berada di surga yang keadaannya jauh lebih baik. Istri itu terus berusaha menghibur suaminya yang baru datang. Ia ajak suaminya untuk tidur hingga terbangun menjelang waktu subuh. Sang suami bangun, mandi, dan shalat qabla subuh.

Ketika ia akan berangkat ke mesjid untuk shalat berjamaah, istrinya mendekat sambil berkata, “Suamiku aku punya keperluan.” “Sebutkanlah,” kata suaminya. Sang istri menjawab, “Kalau ada seseorang yang menitipkan amanat kepada kita, lalu pada saatnya orang itu mengambil amanat tersebut dari kita, bagaimana pendapatmu kalau amanat itu kita tahan dan kita tidak mau memberikan kepadanya?” Suaminya men-jawab, “Pastilah aku menjadi suami yang paling buruk akhlaknya dan khianat dalam beramal. Itu merupakan perbuatan yang sangat tercela. Aku wajib mengembalikan amanat itu kepada pemiliknya.” Lalu istrinya berkata, “Sudah tiga tahun, Allah menitipkan amanat kepada kita. Hari kemarin, dengan kehendak-Nya, Allah mengambil amanat itu dari kita. Anak kita sekarang sudah meninggal dunia. Ia ada di kamar sebelah. Sekarang berangkatlah engkau dan lakukanlah shalat.” Suaminya pergi ke kamar untuk menengok anaknya yang telah meninggal.

Ia lalu pergi ke masjid untuk shalat berjamaah di masjid Nabi. Pada waktu itu Nabi menjemputnya seraya berkata, “Diberkatilah malam kamu yang tadi itu.” Malam itu adalah malam ketika suami istri itu bersabar dalam menghadapi musibah.

Dari cerita itu kita dapat menangkap bagaimana sang istri memperlakukan suami dengan sabar dan suami memperlakukan istri dengan sabar pula. Dalam istilah modern, kedua suami istri itu memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Biasanya keluarga seperti ini bisa bertahan lama.

***

Ada suatu riwayat lain tentang kesabaran: Dahulu di zaman Harun Al-Rasyid, terdapat seorang perdana menteri yang bernama Al-Asma’i. Suatu hari, ia pergi berburu ke padang pasir. Di satu tempat ia terpisah dengan kafilahnya. Ketika itu ia berada di tengah-tengah sahara dalam keadaan kehausan dan kepanasan. Lalu ia melihat ada sebuah kemah di tengah-tengah padang sahara. Ia berjalan mendekati kemah dan ia melihat di kemah itu ada seorang perempuan muda yang sangat cantik.

Perempuan itu sendirian. Ketika perempuan itu melihat Al-Asma’i mendekati kemah, ia mempersilahkannya untuk masuk ke kemahnya dan menyuruhnya untuk duduk di tempat yang agak jauh darinya. Al-Asma’i berkata kepadanya, “Tolong beri aku air minum.” Wajah perempuan itu berubah, ia berkata, “Sungguh, aku tidak bisa memberikan air kepadamu sebab suamiku tidak mengizin-kanku untuk memberikan air kepada orang lain. Tapi aku punya bagian makan pagiku yaitu susu. Aku tidak makan dan kau boleh meminumnya.” Lalu Al-Asma’i meminum susu itu dan perempuan itu tidak berbicara kepadanya.

Tiba-tiba ia melihat perempuan itu berubah wajahnya. Dari jauh ia melihat ada titik hitam mendekati kemah. Perempuan itu berkata, “Suamiku telah datang.” Perempuan cantik itu membawa air dan pergi keluar dari kemahnya. Ternyata suaminya yang datang itu adalah orang yang hitam, tua, dan berwajah jelek. Perempuan itu membantu kakek tua dari untanya lalu ia basuh dua tangan dan kaki suaminya dan dibawanyalah masuk ke dalam kemah dengan penuh penghormatan. Kakek tua itu sangat buruk akhlaknya. Ia tidak menegur sedikit pun kepada Al-Asma’i. Ia mengabaikan tamu dan memperlakukan istrinya dengan kasar. Al-Asma’i sangat benci kepadanya. Ia berdiri dari tempat duduknya dan pergi keluar kemah.

Perempuan itu mengantarkan Al-Asma’i keluar. Saat itu, Al-Asma’i bertanya kepadanya, “Saya menyesalkan keadaanmu. Kamu, dengan segala kemudaan dan kecantikanmu, sangat bergantung kepada orang seperti dia. Untuk apa kamu bergantung kepada dia? Apakah karena hartanya? Sedangkan ia orang miskin. Atau karena akhlaknya? Sedangkan akhlaknya begitu buruk. Atau kamu tertarik kepada dia karena ketampanannya? Padahal ia seorang tua yang buruk rupa. Mengapa kamu tertarik padanya?”


Wajah perempuan itu pucat pasi. Lalu ia berkata dengan suara yang sangat keras, “Hai Asma’i! Akulah yang menyesalkan kamu. Aku tidak menyangka seorang perdana menteri Harun Al-Rasyid berusaha menghapuskan kecintaanku kepada suamiku dari hatiku dengan jalan menjelek-jelekkan suamiku. Wahai Asma’i tidakkah kau tahu mengapa aku melakukan semua itu? Aku mendengar Nabi yang mulia bersabda: Iman itu setengahnya adalah kesabaran dan setengahnya lagi adalah syukur. Aku bersyukur kepada Allah karena Ia telah menganugerahkan kepadaku kemudaan, kecantikan, dan akhlak yang baik. Aku ingin menyempurnakan setengah imanku lagi dengan kesabaran dalam berkhidmat kepada suamiku.”



Jadi, perempuan di atas ingin menyempurnakan setengah keimanannya dengan kesabaran setelah ia bersyukur akan kemudaan, kecantikan, dan kebaikan akhlak-nya. Ia bersabar dengan jalan mengabdikan seluruh hidupnya kepada suaminya. Jika ada orang yang bersyukur tapi ia tidak bisa bersabar, imannya tidak sempurna. Karena ia kehilangan setengah imannya yang lain. Hadis ini jangan dipandang dalam perspektif kaum feminis. Tapi pandanglah sebagai kecintaan seorang istri yang dengan sabar berkhidmat kepada suaminya.



Menurut Goleman, ketika kita meng-hadapi kesusahan, salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan melihat kembali persoalan itu dari sudut yang lain. Maksudnya, cobalah kita pahami dan tafsirkan persoalan itu secara seksama. Carilah perspektif lain dalam memandang berbagai masalah itu. Karena itu akan membawa kita kepada kondisi yang lebih kuat dalam menghadapi musibah.
Kesabaran Kesabaran Reviewed by ASYIMAR on 14.09 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Find us on Facebook