Advertisement

About us

Menggelapkan Sesuatu Dengan Cara Bathil

Menggelapkan Sesuatu Dengan Cara Bathil
Topik yang paling penting dalam Hadits ini ialah bahwa barang siapa
yang menggelapkan sesuatu atau mengambilnya dengan cara yang tidak
dibenarkan, maka kelak pada hari Kiamat Allah akan mempermalukannya di
hadapan semua saksi, terlebih lagi dengan hukuman yang akan ditimpakan
kepadanya. Barang siapa yang mencuri atau menggelapkan seekor unta
misalnya, sekalipun dari Baitul Mal kaum muslim, maka sesungguhnya
Allah SWT akan mendatangkan orang yang bersangkutan kelak pada hari
Kiamat di hadapan semua manusia, sedang ia membawa untanya yang
suaranya terdengar oleh semua ahli mauqif (di Padang Mahsyar),
sehingga makin mempermalukannya. Oleh karena itu, dapat Anda bayangkan
bagaimana seseorang yang menggelapkan harta yang jauh lebih banyak
dari sekadar seekor unta. Hal yang sama akan dilakukan terhadap orang
yang menggelapkan kambing, sapi, dan sebagainya.

Apakah para koruptor itu tidak merasa malu kepada Abu Bakar yang wafat
dalam keadaan tidak meninggalkan sesuatu pun, kecuali hanya sepasang
pakaiannya, seekor bighalnya, dan sedikit harta? Sekalipun demikian ia
berkata: "Temuilah oleh kamu `Umar bin Khaththab dan katakanlah
kepadanya: `Hai `Umar, bertaqwalah . kepada Allah dan janganlah sampai
Allah mematikanmu dalam keadaan seperti aku ini.'"

Ketika peninggalan (kekhalifahan) itu sampai kepada `Umar, ia menangis
begitu menduduki jabatannya seraya berkata (meratapi kewafatan Abu
Bakar): "Engkau akan membuat para khalifah sesudahmu kelelahan
(mengemban amanat ini), wahai pengganti Rasulullahl"

`Umar ra., sendiri ketika menjabat khalifah tidak pernah mengambil
barang apa pun dari Baitul Mal, baik sedikit maupun banyak, sehingga
ia berkata di atas mimbarnya: "Demi Allah yang tidak ada tuhan, selain
Dia, aku tidak pernah mengambil sesuatu pun dari harta kalian, selain
sepasang jubah atau sepasang pakaian ini." Yang satu dikenakannya pada
musim panas dan yang lain dikenakannya ketika musim dingin.

Dalam sebuah Hadits dalam Kitab Shahihain disebutkan bahwa Rasulullah
SAW pernah bersabda:

"Barang siapa yang menggelapkan emas, maka emas itu akan dijadikan
lempengan-lempengan baginya, kemudian dipanaskan dan diseterikakan
kepadanya."

Yang membenarkan makna Hadits ini dalam Al-Qur'an adalah firman Allah
SWT yang menyebutkan:

"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka beri tahukanlah kepada mereka,
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari emas perak
itu dipanaskan dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi,
lambung, dan punggung mereka, (lalu dikatakan) kepada mereka: `Inilah
harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah
sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu."' (QS. At-Taubah (9):
34-35)

Ingatlah Allah, hendaklah manusia selalu merasa bahwa dirinya
senantiasa berada di bawah pengawasan Allah. Oleh karena itu,
janganlah sekali-kali ia meremehkan suatu tugas pun yang berada di
bawah pertanggungjawabann ya:

"Masing-masing dari kamu adalah penggembala dan masin.g-maasing dari
kamu kelak akan dimintai pertanggungjawaban tentang gembalaannya, (HR.
Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan lain-lain)

sekalipun menyangkut uang satu dirham atau satu real. Sesungguhnya
jabatan itu merupakan tugas yang bakal dimintai pertanggungjawaban di
hadapan Yang Maha Mengetahui semua yang ghaib. Dia berfirman:

"Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana.
kamu Kami ciptakan pada mulanya dan kamu tinggalkan di belakangmu (di
dunia) apa yang telah Kami kurniakan kepadamu. Kami tiada melihat
besertamu pemberi syafa'at yang kamu anggap bahwa mereka itu
sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah terputuslah
(pertalian) antara kamu dan telah lenyap darimu apa yang dahulu kamu
anggap (sebagai sekutu-sekutu Allah). " (QS. Al-An`aam (6): 94)

Rasulullah SAW telah bersabda:

"Ya Allah, barangsiapa yang memegang sesuatu dari urusan umatku, lalu
ia bersikap mudah terhadap mereka, maka berikanlah kemudahan kepadanya
dan barang siapa yang bersikap memperberat mereka, maka persulitlah
dia. " (HR. Muslim dan Ahmad)

Hadits ini shahih. Oleh karena itu, barang siapa yang lemah-lembut dan
penyayang, maka Allah akan menyayanginya; dan barang siapa yang
memperberat mereka, bahkan mengambil harta mereka serta rnembuat
mereka sengsara, maka Allah akan menyengsarakannya di dunia dan akhirat.

Dalam Hadits lain disebutkan sebagai berikut:

"Manusia Itu berada dalam jaminanAllah dan yang paling disukai
oleh-Nya dari kalangan mereka adalah orang yang paling berguna bagi
jaminan-Nya. " (HR: Al-Harits dalam Kitab Musnadnya, Abu Ya `la ,
Al-Qudha'I dalam Musnad Asy-Syihab, dan Baihaqi dalam Kitab Syu'abnya)

Para shahabat dan ulama salaf telah mengetahui besarnya tanggung jawab
memegang tampuk pemerintahan. Oleh karena itu, banyak dari kalangan
mereka yang meminta rnaaf kepada Rasul SAW untuk tidak diangkat.

Rasul SAW bersabda kepada salah seorang shahabatnya: "Hai Fulan,
berangkatlah kamu sebagai amir (pemimpin)." Ia menjawab: "Wahai
Rasulullah, bebaskanlah diriku dari tugas kepemimpinan. "

Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa di antara kamu yang kami
pekerjakan untuk melakukan suatu tugas, lalu ia menyembunyikan
terhadap kami sebuah jarum dan yang lebih dari itu, maka perbuatannya
itu disebut ghulul (penggelapan) yang akan dibebankan padanya pada
hari Kiamat nanti."

Maka berdirilah seorang lelaki berkulit hitam dari kalangan Anshar,
lalu berkata: "Wahai Rasulullah, angkatlah diriku untuk menjadi
petugasmu." Rasuluhah SAW bertanya: "Apakah yang mendorongmu
mengajukan dirimu?" Lelaki itu menjawab: "Aku mendengar engkau
mengatakan anu dan anu." Nabi SAW bersabda:

"Sekarang aku akan menegaskan bahwa barang siapa di antara kamu yang
kami pekerjakan untuk suatu tugas, baik sedikit maupun banyak,
hendaklah dia menunaikannya. Oleh karena itu, apa yang diberikan
kepadanya boleh ia menerimanya dan apa yang dicegah darinya hendaklah
ia menahan diri. " (HR. Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud)

Mereka pun surut semuanya hingga `Umar berkata: "Aku tidak suka dengan
jabatan kepemimpinan dalam Islam, kecuali hanya sekali, yaitu ketika
penaklukkan Khaibar saat beliau SAW bersabda:

Aku benar-benar akan menyerahkan panji ini besok kepada seorang lelaki
yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan Allah dan Rasul-Nya
mencintainya. "' (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan lain-lain)

Adalah Rasulullah SAW bila mengangkat seseorang menjadi pemimpin,
beliau tidak pernah memandang keturunannya, tidak keluarganya, dan
tidak pula kabilah asalnya. Yang dipilih beliau adalah orang yang
paling taqwa, paling dekat dengan Allah dan dengan Rasul-Nya di antara
mereka.

"...Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi
Allah adalah orang yang paling taqwa di antara kalian...." (QS.
AlHujuraat (49): 13)

Oleh karena itu, ketika `Abbas, paman Rasulullah SAW meminta agar
beliau mengangkatnya sebagai pejabat, Rasulullah SAW bersabda kepadanya:

"Wahai paman, jiwa yang engkau selamatkan adalah lebih baik daripada
jabatan yang engkau tidak dapat memikulnya." (HR. Ibnu Abi Syaibah,
Al-Khallal dalam As-Sunnah, Ibnu Sa'ad dalam Ath-Thabaqat, dan Baihaqi
dalam As-Sunanul Kubra)

Telah diriwayatkan dari `Umar ra bahwa ia pernah mengatakan:
"Seandainya Salim, maula (pelayan) Abu Hudzaifah, masih hidup,
tentulah aku akan mengangkatnya sebagai khalifah." (HR. Thabarani
dalam Tarikhah)

Karenanya, apakah yang bermanfaat bagi seseorang apabila ia tiba pada
hari Kiamat, sedang dia telah memegang jabatan duniawi seluruhnya,
lalu dia tidak berbuat adil, tidak bersikap pertengahan, dan tidak
bertaqwa kepada Allah, yang pada akhirnya dia merugikan dirinya sendiri?

Akhirnya, `Umar ra., pun memegang jabatan khalifah karena ada wasiat
dari Al-Mushthafa (Nabi) SAW.

Abu Dzar Al-Ghifari ra., datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata:
"Wahai Rasulullah, engkau telah mengangkat si Fulan dan engkau telah
mengangkat pula si Anu, lalu mengapa engkau tidak mengangkatku? "

Rasulullah SAW pun menepukkan tangannya ke pundakku dan bersabda:

"Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau adalah seorang lelaki yang lemah
dan sesungguhnya jabatan itu adalah amanat. Sesungguhnya jabatan itu
kelak pada hari Kiamat merupakan kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi
orang yang menerimannya dengan benar dan dia menunaikan kewajiban yang
ada padanya." (HR. Muslim dan Ahmad)

Dalam hadits lain yang diriwayatkan melalui Abu Hurairah disebutkan
bahwa Rasul SAW pernah bersabda:

"Sesungguhnya kalian sangat antusias kepada jabatan, padahal jabatan
itu akan menjadi penyesalan dan kekecewaan pada hari Kiamat nanti.
Jadi, jabatana itu mengenakan, tetapi buruk kesudahannya (bagi yang
bersangkutan) ." (HR. Bukhari, Ahmad, dan Nasa'i)

Penghulu ahli qira'at, yaitu Ubay bin Ka'ab, datang menghadap Khalifah
`Umar, lalu berkata: "Hai Umar, bagaimana engakau mengangkat orang
lain dan meninggalkan diriku?"

`Umar menjawab: "Demi Allah, wahai Ubay; demi Allah, wahai Abul
Mundzir (nama gelar Ubay), sesungguhnya aku mencintaimu sebagaimana
aku mencintai diriku sendiri. Aku sengaja meninggalkanmu dalam
pengangkatan jabatan kedudukan agar aku tidak mencemari keimananmu."

Ubay bin Ka'ab pun menerima nasihat `Umar ini dan dia tidak mau
memegang jabatan wilayah apa pun sampai ia berpulang menghadap Allah
SWT (wafat).

Seperti itulah manhaj ulama salaf dalam bersikap terhadap jabatan dan
kedudukan. Mereka lari dan menjauh darinya karena mereka mengetahui
besarnya beban tanggungjawab atas jabatan dihadapan Allah pada hari
Kiamat nanti.

Khalifah Harun Ar-Rasyid berkata kepada Imam Abu Hanifah: "Peganglah
jabatan qadha' (peradilan)" Abu Hanifah menjawab, "Aku tidak layak
untuk jabatan itu." Khalifah berkata: "Kamu dusta." Abu Hanifah
berkata: "Kalau begitu, bagaimana engkau mengangkat seorang pendusta?"

Disebutkan pula dalam suatu riwayat bahwa Imam Malik dikehendaki oleh
mereka untuk menduduki jabatan qodhi, padahal jabatan ini lebih rendah
daripada jabatan wilayah (gubernur/amir) , tetapi Imam Malik menolak

Ketika lsma'il bin `Aliyyah diangkat menjadi pejabat qadhi, Ibnul
Mubarak berkirim surat kepadanya: "Celaka kamu! Kamu terancam oleh
hukuman Allah. Sesungguhnya dalam Hadits disebutkan:

`Para qadhi itu ada tiga macam, yang dua orang dimasukkan ke neraka,
sedang yang dimasukkan ke dalam surga hanya seorang.' (HR. Abu Dawud,
Tirmidzi, Ibnu Majah)

Oleh karena itu, berhati-hatilah kamu; jangan sampai masuk ke dalam
golongan yang dua orang itu."

Isma'il pun membalas surat Ibnul Mubarak: "Aku tidak mengerti apa yang
engkau maksudkan." Ibnul Mubarak berkata: "Ternyata orang ini tetap
membangkang, kecuali bila aku menguliti duduk perkara yang sebenarnya
dengan sejelas-jelasnya. " Selanjutnya, Ibnul Mubarak menulis sebuah
qashidah untuknya sebagai jawabannya yang antara lain disebutkan
sebagai berikut:

Hai orang-orang yang menjadikan ilmunya
sebagai sarana untuk memburu harta orang-orang miskin
dikemanakanlah riwayat-riwayat
yang dahulu kamu terima dari Ibnu 'Aun dan Ibnu Sirin?
Jika engkau katakan bahwa aku keliru
katakanlah kepadaku bahwa orang yang berilmu telah tergelincir
bagaikan keledai tergelincir kedalam lumpur

Setelah Isma'il membaca qashidah ini, ia memahami makna yang dimaksud.
la pun menangis, kemudian menghadap Khalifah Harun Ar-Rasyid dan
meminta kepada khalifah untuk memecatnya.

Akan tetapi, hal ini tidak bersifat mutlak jika kedudukan, jabatan,
atau posisi yang ada sangat membutuhkan Anda, sedang Anda Insya Allah,
termasuk orang yang paling layak untuknya di antara yang ada, maka
janganlah Anda ragu-ragu untuk mendudukinya. Sesungguhnya Rasulullah
SAW sendiri pernah menjabat sebagai pemimpin dan juga sebagai petugas.
Keempat orang khalifah pun juga pernah menjabat sebagai amir. Patokan
dalam hal ini adalah konsekuensi yang bersangkutan dan bertaqwa kepada
Allah dalam menjalankannya.

Khalifah Umar berkata kepada Abu Hurairah: "Kuangkat kamu sebagai
amir!" Abu Hurairah menjawab: "Demi Allah, aku tidak mau memegangnya.
Aku takut akan tiga perkara dan dua perkara lainnya." `Umar berkata:
"Katakanlah lima perkara." Abu Hurairah .berkata: "Tidak, aku taktut
akan tiga perkara dan dua perkara lainnya." `Umar bertanya: "Apakah
yang engkau maksudkan?" Abu Hurairah menjawab: "Aku takut bila
punggungku kena dera; hartaku disita; dan kehormatanku dilecehkan; dan
aku takut di akhirat nanti bila aku dihadapkan dalam keadaan
terbelenggu dan diseret masuk ke neraka dengan wajah di bawah." `Umar
berkata: "Wahai anak Ummu Abu Hurairah, apakah engkau yang lebih baik
atau Yusuf yang telah mengatakan:

"...Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan. "' (QS. Yusuf
(12):55)

Abu Hurairah berkata: "Kalau Yusuf adalah putra orang yang mulia,
putra orang yang mulia, putra orang yang mulia (yakni Ibnu Ya'qub bin
Ishaq bin Ibrahim sedang aku adalah anak orang lemah, anak orang
lemah, anak orang lemah", atau sebagaimana yang dikatakannya.
Sesungguhnya Abu Hurairah ra., memang benar dalam alasannya. Untuk
itu, barang siapa yang merasakan dirinya mempunyai kemampuan dan
amanat, hendaklah ia menerima jabatan atau kedudukan itu. Jika ia
tidak mempunyai kemampuan dan amanat, hendaklah ia lari darinya.
Menggelapkan Sesuatu Dengan Cara Bathil Menggelapkan Sesuatu Dengan Cara Bathil Reviewed by ASYIMAR on 11.49 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Find us on Facebook