Advertisement

About us

Kisah "YU TIMAH"

Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah tetangga kami.

Dia salah seorang penerima program Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang

kini sudah berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu tahun jumlah

uang yang diterima Yu Timah dari pemerintah sebesar Rp 1,2 juta.



Yu Timah adalah penerima SLT yang sebenarnya. Maka rumahnya berlantai

tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan status

tanah yang di tempati gubuk Yu Timah adalah bukan milik sendiri.



Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan tidak menikah.

Barangkali karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat miskin, ditambah

yatim sejak kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki manapun. Jadilah

Yu Timah perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara.



Dulu setelah remaja Yu Timah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di

Jakarta . Namun, seiring usianya yang terus meningkat, tenaga Yu Timah

tidak laku di pasaran pembantu rumah tangga. Dia kembali ke kampung

kami. Para tetangga bergotong royong membuatkan gubuk buat Yu Timah

bersama emaknya yang sudah sangat renta. Gubuk itu didirikan di atas

tanah tetangga yang bersedia menampung anak dan emak yang sangat miskin

itu.



Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka ia berjualan

nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di

pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa.



Tapi Yu Timah bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup bertahun-tahun

bersama emaknya.



Setelah emaknya meninggal Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia

biayai anak itu hingga tamat SD. Tapi ini zaman apa. Anak itu harus cari

makan. Maka dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah tangga dan

lagi-lagi terdampar di Jakarta . Sudah empat tahun terakhir ini Yu Timah

kembali hidup sebatang kara dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan

berjualan nasi bungkus. Untung di kampung kami ada pesantren kecil. Para

santrinya adalah anak-anak petani yang biasa makan nasi seperti yang

dijual Yu Timah.



Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira pasti dia mau

bicara soal tabungan. Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu Timah masih bisa

menabung di bank perkreditan rakyat syariah di mana saya ikut jadi

pengurus.



Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor. Katanya, malu sebab dia

orang miskin dan buta huruf. Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10 ribu

setiap bulan. Namun setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor

tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan sejak itu saya melihat Yu Timah memakai

cincin emas. Yah, emas. Untuk orang seperti Yu Timah, setitik emas di

jari adalah persoalan mengangkat harga diri. Saldo terakhir Yu Timah

adalah Rp 650 ribu.



Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya. Malah maunya

bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah.



''Pak, saya mau mengambil tabungan,'' kata Yu Timah dengan suaranya yang

kecil.



''O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore. Bank kita sudah

tutup. Bagaimana bila Senin?''



''Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa.''



''Mau ambil berapa?'' tanya saya.



''Enam ratus ribu, Pak.''



''Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?''



Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum malu-malu.



''Saya mau beli kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus ribu saya tambahi

dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing.''



Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya. Bahkan dia mengulangi

kata-katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan

tanggapan, mungkin Yu Timah mengira saya tidak akan memberikan uang

tabungannya. Padahal saya lama terdiam karena sangat terkesan oleh

keinginan Yu Timah membeli kambing kurban.



''Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan sebesar enam ratus

ribu. Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah bahkan

wajib menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada. Jadi,

apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing

kurban?''



''Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama

Ini memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi

pemberi daging kurban.''



''Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita."



Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya berbinar. Lalu minta

diri, dan dengan langkah-langkah panjang Yu Timah pulang.



Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri.



"Kapankah Yu Timah mendengar, mengerti, menghayati, lalu

menginternalisasi ajaran kurban yang ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim?

Mengapa orang yang sangat awam itu bisa punya keikhlasan demikian tinggi

sehingga rela mengurbankan hampir seluruh hartanya?" Pertanyaan ini

muncul karena umumnya ibadah haji yang biayanya mahal itu tidak mengubah

watak orangnya. Mungkin saya juga begitu.



Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Kamu yang belum naik haji, atau tidak akan

pernah naik haji, namun kamu sudah jadi orang yang suka berkurban. Kamu

sangat miskin, tapi uangmu tidak kaubelikan makanan, televisi, atau

pakaian yang bagus. Uangmu malah kamu belikan kambing kurban. Ya, Yu

Timah. Meski saya dilarang dokter makan daging kambing, tapi kali ini

akan saya langgar. Saya ingin menikmati daging kambingmu yang sepertinya

sudah berbau surga. Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu naik haji.



Sumber : RESONANSI - Republika Desember 2006, Ahmad Tohar
Kisah "YU TIMAH" Kisah "YU TIMAH" Reviewed by ASYIMAR on 14.34 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Find us on Facebook