TENGOKLAH KEBAWAH!
Fiyan Arjun
http://sebuahrisala h.multiply. com
ID YM : paman_sam2
“Kalau kamu mau bersyukur lihat ke bawah. Kalau kamu mau lihat penderitaan saudara kita yang lain tengok keluar!“
Begitulah pesan yang disampaikan dan diberitahukan oleh orang yang saya tuakan kepada saya ketika saya sedang berkeluh kesah tentang segala “kekurangan“ yang ada pada diri saya suatu hari pada saat itu kepadanya.
Itu dulu. Sekarang saya sudah menyadari hal itu atas “kekeliruan“ saya saat itu. Yakni, saya selalu (mengeluh) menjadi orang yang serba kekurangan. Sekarang ini saya sudah mulai mengetahui dan bahkan sudah memahami sekaligus merasakan hal itu sendiri. Mengalami dan melihatnya sendiri secara langsung. Ternyata saya bukanlah orang yang paling menderita apalagi kekurangan di dunia ini. Ada yang lebih menderita dan papa selain diri saya sendiri. Sekarang kini saya sudah mulai memahami kekeliruan itu. Kenapa saya menyadari kekeliruan itu? Dikarenakan saya sudah melihat dengan mata dan kepala saya sendiri secara live. Hal itu saya lihat langsung setiap hari ketika saya—mulai bekerja kembali dan tiap usai pulang kerja.
Setiap saya usai pulang dari tempat saya bekerja saya mulai mengerti “disinilah“ tempat saya untuk memahami dan menyimak segala warna-warni kehidupan yang Allah tujukan kepada saya. Sekolah kehidupan. Tiap kali jika saya berangkat dan usaI pulang bekerja saya sering menemukan dan melihat hal-hal yang membuat saya terenyuh, iba dan lantas bersyukur kepadaNya. Ternyata bukan saya seorang diri yang memiliki kekurangan itu. Masih banyak lagi selain saya.
Seperti kemarin lalu saat saya berangkat kerja. Kebetulan hari itu saya masuk kerja giliran masuk siang. Saya berpapasan dengan seorang tuna wisma laki-laki lansia yang menengadahkan tangannya ke arah saya. Padahal saat itu saya ingin lekas naik bus yang saya tunggu sejak tadi belum juga datang. Namun pas bus yang saya tunggu itu datang saya dikejutkan lagi oleh suara tuna wisma itu sambil menengadahkan tangannya lagi ke arah saya.
“Dik, bagi uangnya sedikit. Bapak belum makan,“ lirihnya seakan mengiris hati saya yang mendengarnya. Dalam hati saya bergumam,“ MasyaAllah ibukota semegah ini masih saja ada anak manusia yang menahan laparnya demi sesuap nasi.“ Akhirnya saya pun merelakan bus yang sejak tadi saya tunggu dan saya beralih kepada tuna wisma yang sudah lanjut usia yang ada di hadapan saya. Dan saya pun merogoh kocek saya di celana.
“Oya, Pak ini ada sedikit uang!” singkat saya lansung memberi uang alakadarnya ke tangannya tanpa pesan apa-apa. Maklum saya baru saja dapat pekerjaan lagi jadi saya hanya memberi uang sesuai dengan kantong dan keikhlasan saya. Dan seperti bisa saya pun menunggu bus yang akan mengantarkan saya berangkat kerja.
“Makasih, Dik. Semoga adik dilancarkan rezekinya,” katanya sambil mulut berkomat-komit. Entah apa yang di gumamkan saya juga tidak tak tahu. Semoga yang ada di mulutnya itu sebuah doa mustajab untuk saya khususnya, dan juga umumnya untuknya.
Di sinilah (baca: diluar usai tempat saya bekerja) banyak guru-guru kehidupan saya yang selama ini tidak saya ketahui keberadaannya, ada banyak sekolah kehidupan di jalanan, dan banyak pula pelajaran-pelajaran yang saya petik ketika saya ada di mana dan sedang apa. Baik sedang duduk di atas bus, berjalan, berdiri maupun singgah ketika mau berangkat atau pun usai pulang bekerja. Ada saja guru-guru yang mengajari saya tentang kehidupan yang benar-benar membuat saya merasa mengurut dada jika melihatnya. Banyak hal yang saya dapati di luar sana dan hal yang tidak dapat saya ketahui sebelumnya. Ada yang mengajari saya bagaimana cara bersyukur dan juga mengamati serta merasakan orang-orang yang diberikan ujian oleh Yang Maha Kuasa. Halnya sepeti tuna wisma yang lanjut usia yang menangadahkan tangannya ke arah yang ingin makan. Miris seakli saya mendengarkannya.
Sungguh ada jiwa yang bergejolak jika saya melihat keadaan itu semua. Baik dengan sepasang mata dan kepala saya sendiri. Seakan-akan Yang Maha Kuasa memberikan saya sebuah adegan demi adegan film di kehidupan ini agar saya selalu bersyukur dan menyadari atas kekeliruan saya dulu yang membuat saya hampir-hampir menyalahkan kehadiranNya. Naudzimindzalik. Tapi hal itu saya tepis jauh-jauh dari benak saya ketika saya menemui seorang yang saya tuakan yang telah memberikan saya masukan dan pesan untuk saya agar tidak melakukan hal itu semua. Yang mengakibatkan saya beranggapan bahwa Tuhan tidak adil terhadap saya kala itu.
Seharusnya saya harus bisa lebih bersyukur dengan apa yang saya miliki sekarang. Sekarang saya sudah memiliki pekerjaan tetap lagi, bakat menulis serta berada di sekililing orang-orang yang selalu memberikan nasehat kepada saya dibandingkan di luar sana. Tak ada seperti saya ini. Mendapatkan pekerjaan tetap memiliki bakat serta berada bersama orang-orang yang siap memberikan masukan kepada saya. Mereka di luaran sana hanya bisa berkata: “besok bagaimana saya bisa makan!“ Itulah yang mungkin sering diucapkan oleh mereka di luaran sana. Halnya beda dengan saya ini. Sungguh sepatutnya saya semakin bersyukur dengan hal itu. Bukankah begitu?
Satu hal saya juga patut bersyukur kepada Allah Yang Menciptakan saya ini dan juga Maha Pemberi. Dengan kaki saya yang masih utuh. Sepasang. Saya bisa beraktivitas. Berangkat dan pergi bekerja serta bersosialisai kepada yang lain. Begitu juga dengan mata yang saya miliki ini, yang tidak buta (hanya memakai kacamata minus) saya dapat bisa “melihat“ di luar sana. Baik dari luar jendela bus yang tiap hari saya tumpangi, baik dari berangkat sampai pulang kerja. Melihat secara langsung saat saya sedang berjalan dan singgah ditempat saya menemukan guru-guru, sekolah dan pelajaran kehidupan sesungguhnya kepada saya selama ini yang saya tidak tahu dan memasabodohkan keberadaannya serta yang di-marjinal-kan oleh orang yang tidak memiliki hati dan juga yang memiliki kekuasaan.
Untunglah saya ini yang masih bisa melihat dengan mata saya dan bisa melangkah dengan kedua kaki saya lebih jauh untuk bisa melihat kebawah dan menengok keluar. Bagaimana keadaan saudara saya yang lainnya sesungguhnya dibawah!
Ciputat, 11 Februari 2008
Ketika hati ini merasa kecil dihadapanNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar