“Wahai Rasulullah, siapakah di antara hamba-hamba Allah yang menunaikan ibadah haji tahun ini yang diterima sebagai haji mabrur?”
Diceritakan bahwa di sebuah perkampungan terpencil ada seorang miskin yang bekerja sebagai tukang nyemir sepatu. Walaupun tukang penyemir sepatu dan miskin, semangat dan komitmennya untuk pengabdi kepada Penciptanya sangat besar. Bahkan tidak ketinggalan mengimpikan untuk dapat melaksanakan ibadah haji di suatu hari.
Untuk mewujudkan mimpi itu, disisihkanlah penghasilannya dari ke hari, bulan ke bulan, bahkan dari tahun ke tahun. Kalaulah seandainya bukan karena iman dan tawakkal yang tinggi, pastilah hamba Allah ini patah semangat, sebab uang yang dikumpulkan itu tidak pernah mencukupi biaya haji yang dibuthkan. Namun didukung oleh semangat penuh dan kerja keras, hingga suatu ketika dirasa bahwa bekal untuk berhaji telah mencukupi.
Segala persiapan pun dilakukan. Niat telah bulat, perbekalan ada di tangan. Kini tinggal memulai perjalanan itu. Hati hamba ini bersuka ria tiada habis memuji kebesaran Ilahi. Dan tibalah masa untuk memulai perjalanan itu. Tiba-tiba di saat akan meninggalkan rumahnya terdengar kabar bahwa tetangganya terjatuh sakit dan memerlukan bantuan keuangan untuk pengobatan.
Sang hamba itupun mengalihkan langkah kakinya menuju kediaman tetangga itu. Di lihatnya tetangganya tergeletak lemah, merintih menahan sakit dan berharap jika ada yang berkenan membantunya untuk meringankan bebannya itu. Diapun dengan ikhlas dan tekad karena mencari ridha Allah SWT memberikan bekal perjalanan hajinya kepada tetangga dengan harapan Allah memberikan keringanan bagi penderitaannya.
Singkatnya, sang hamba itu gagallah berangkat ke tanah suci. Sebuah ambisi pribadi pengabdian kepada Rabbnya yang telah lama diidamkan. Namun dalam hatinya dia puas karena mampu memberikan secercah harapan dan ketenangan kepada tetangga yang tergeletak lemah dan tak berdaya itu.
Dari kota terdekat dari kampung tukang sepatu ini juga ternyata ada beberapa orang yang menunaikan haji pada tahun yang sama. Bahkan beberapa di antaranya berangkat menunaikan ibadah haji untuk ke sekian kalinya.
Singkat cerita, tibalah masa wukuf di Arafah. Sang hamba yang gagal berangkat haji itu kembali menggeluti pekerjaan hari-harinya dengan penuh ikhlas. Gembira dalam setiap saat bersama ridha Tuhannya. Hatinya seolah bernyanyi ria dalam genggaman rahasia Ilahi. Bergerak mengikuti hempasan ombak takdir kekuasaanNya. Gerakan-gerakan tangannya selalu teriringi oleh pujian dan tasbih kepada sang Khaliq, Pencipta alam semesta.
Sementara itu, manusia di padang Arafah hanyut dalam kekhusyu’an ibadah mereka. Terdengar lafaz-lafaz dzikrullah dan pujian dalam AsmaNya. Siang yang terik itu menjadikan sebagian para haji tertidur diirngi tasbih dan kekhusyu’an
Salah seorang dari jama’ah yang berada di padang Arafah itu adalah seorang saudagar kaya dan terpandang dari sebuah kota dekat perkampungan hamba Allah yang miskin tadi. Sang saudagar ini tertidur pulas di tengah-tengah kekhusyu’an manusia memuja Rabb mereka. Dalam tidurnya itu, sang saudagar ini bermimpi ketemu dengan Rasulullah SAW.
Beliaupun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, siapakah di antara hamba-hamba Allah yang menunaikan ibadah haji tahun ini yang diterima sebagai haji mabrur?”
Rasulullah kemudian menjawab dengan tersenyum ramah: “Si fulan, seraya menyebutkan nama sang hamba miskin itu”.
Saudagar itu terkejut dan ingin tahu siapa gerangan dia yang beruntung itu. Maka beliaupun menyambung pertanyaannya: “wahai Rasulullah, siapa gerangan dia dan berasal dari mana?”
Rasulullah kembali menjawab dengan ramah: “Dia adalah seorang hamba Allah dari perkampungan fulan, seraya menyebutkan nama kampugnya”.
Mendengarkan itu, saudagar itu terkejut dan hampir tidak percaya. Mana mungkin, pikirnya, ada seseorang yang pergi haji dari kampung itu. Semua penduduknya adalah miskin. Penghasilannya tidak mungkin mencukupi untuk seseorang bisa menunaikan ibadah haji. Pergolakan batin sang haji itu yang setengah percaya dan tidak menjadikannya terbangun.
Setelah menunaikan ibadah hajinya, saudagar itu segera kembali ke kotanya. Keinginannya sangat besar untuk tahu siapa gerangan orang yang mendapatkan haji mabrur dari perkampungan yang disebutkan itu. Ditelusurinya kampung itu, tapi tak seorang pun mengaku melakukan ibadah haji. Lalu dia teringat nama yang disebutkan oleh Rasulullah SAW tadi, maka dicarinya orang itu. Ternyata dia hanyalah seorang tukang semir sepatu yang miskin.
Saudagar itu pun meminta sang penyemir itu menceritakan perihal dirinya, dan sampai Rasulullah SAW menjamin baginya haji mabrur. Maka dengan tenang tapi dengan hati yang bahagia sang penyemir itu bercerita panjang, mulai dari niatannya untuk haji, mengumpulkan perbekalan sedikit demi sedikit, hingga saat-saat pemberangkatan dan bantuannya kepada tetangganya yang membutuhkan.
“Barangkali niatku yang bulat dan kerja keras dan tekadku itu yang diterima. Sayapun ikhlas dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah SWT.”, katanya sambil tersenyum melirik pak haji.
Tak lupa juga sang penyemir sepatu ini menyampaikan selamat kepada sang haji seraya berdoa semoga mendapatkan haji mabrur.
Haji Mabrur
Di saat di Padang Arafah, Abu Bakar pernah ditanya oleh seorang sahabat: “apakah itu haji mabrur wahai Abu Bakar?”.
“Engkau akan melihat apakah haji kamu mabrur atau tidak di Madinah nanti” jawabnya singkat.
Haji mabrur memang menjadi impian setiap pelaku ibadah haji. Dalam titahnya, Rasulullah SAW menjelaskan: “dan haji yang mabrur tiada balasan baginya kecuali syurga”.
Untuk mendapatkan janji inilah, setiap Muslim akan melakukan berbagai upaya dan pengerbonan agar dapat menunaikan ibadah haji dan sekaligus melakukan berbagai ibadah yang dapat menjadikan hajinya mabrur (baik) atau maqbul (diterima).
Sayang, pemahaman tentang makna haji mabrur itu seringkali dibatasi oleh dinding-dinding ritual yang ketat. Dalam memahami mabrur atau tidaknya haji seseorang tidak atau jarang melihat jauh di balik dari praktek-praktek ritual yang terkait dengan haji. Perhatian sepenunya terkadang hanya pada sebatas apakah rukun-rukun, wajib maupun sunnah-sunnah haji terpenuhi secara baik.
Pertanyaannya, itukah semua tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan ibadah haji? Apakah ibadah haji sekedar dimaksudkan untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya? Atau barangkali sekedar dimaksudkan untuk membersihkan dosa-dosa masa lalu?
Jawabannya pasti tidak. Ibadah dalam Islam tidak maksudkan justeru untuk membangun “egoisme” pribadi, walau itu atas nama penyembahan. Ruku’ dan sujud seorang hamba seharusnya tidak dibangun di atas kepuasan pribadi atau keinginan untuk merasakan ketenangan dan kebahagiaan individu saja, walau itu atas justifikasi akhirat.
Inilah rahasia dari ungkapan Abu Bakar kepada seorang sahabat bahwa hajinya akan diketahui mabrur atau tidak di saat telah kembali ke Madinah (kampung halamannya). Bahwa di saat kembali berada di tengah-tengah kehidupan kesehariannya, terjadi perubahan yang positif. Imannya menjadi semakin “tajam” sehingga mampu menembus kuatnya batas-batas wujud material ini. Ibadahnya semakin “dalam” (ikhlas) dan bertambah. Apalagi, kelakuan sosialnya akan semakin tumbuh secara positif, menjadikan semua di sekitarnya merasai aman dan tenteram karena sang haji.
Haji Sosial
Berdoman kepada cerita si tukang sepatu maupun jawaban Abu Bakar R.A. di atas jelas bahwa haji adalah amalan ibadah dalam Islam yang memiliki konsekwensi sosial yang tinggi. Betapa tidak, panggilan berhaji dalam Islam itu sendiri dikumandangkan dalam bentuk panggilan “kemanusiaan”: Dan kumandangkanlah kepada manusia (wahai Ibrahim) untuk datang berhaji, niscaya mereka akan datang kepadamu (untuk berhaji) dengan berjalan kaki dan mengendarai onta-onta yang jinak. Mereka berdatangan dari seluruh penjuru yang jauh (Al Qur’an).
Ketika Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk berhaji dalam Al Qur’an, juga dipakai panggilan “kemanusiaan”: Dan bagi Allah atas manusia untuk berhaji kepada Baitullah, bagi siapa yang mampu (Al Qur’an).
Kedua hal dia atas menunjukkan ikatan sosial kemanusiaan yang terdapat dalam ibadah haji itu. Dan kenyataannya memang demikian. Di saat musim haji, mereka yang datang ke tempat-tempat suci itu hanya dipandang dengan satu pandangan, yaitu “pandangan kemanusiaan”. Mereka tidak lagi dipandang dalam ikatan-ikatan sosial dan keduniaan lainnya. Hanya satu kriteria yang membedakan di antara mereka, kriteria ketakwaan yang tidak ditentukan oleh afiliasi sosial manusia.
Kesadaran nilai sosial dalam haji ini seharusnya ditumbuh suburkan di saat menusia diterkam oleh gaya hidup egoistik dunia modern. Dinding-dinding pembatas sosial begitu kuat menjadikan manusia kehilangan koneksi batin. Dinding-dinding itu menjadikan manusia saling menilai, bukan lagi dengan penilaian kemanusiaannya, tapi lebih dekat kepada penilaian hewaninya. Manusia saling berbangga dengan ras, suku, warna kulit, kebangsaan, dan tentunya tingkatan perekonomiannya. Seolah semua inilah yang menentukan harga diri (dignity) seorang anak insan.
Kemampuan menembus dinding-dinding pembatas sosial menjadi sebab tumbuhnya rasa solidaritas yang tinggi. Kesenangan atau penderitaan sesama di sekitarnya akan mudah terlacak karena ada rasa kemanusiaan yang tinggi. Ada sensitivitas yang tajam untuk merasakan apa yang terjadi di sekitarnya. Terbangun kesadaran sosial yang tinggi sebagai akibat dari sensitivitas tadi. Perbedaan sosial atau status ekonomi tidak menjadi penghalang untuk merasakan apa yang terjadi di sekitarnya.
Disebutkan dalam sejarah bahwa suatu ketika Umar bin Khattab pernah berangkat ke Jum’atan sambil memegang perutnya. Ketika ditanya oleh seorang sahabat, apa gerangan yang terjadi? Umar menjawab: “Demi Allah saya lapar dan tidak akan merasakan kenyang selama anak-anak yatim dan kaum miskin masih merasakan kelaparan”.
Beliaulah yang pernah bertanya kepada seorang sahabtnya: “Apakah engkau tidur dengan baik semalam?”. Sahabat menjawab: “Iya Umar, saya tidur dengan nyenyak”. Umar memberitahu: “Demi Allah, saya tidak nyenyak tidur dalam 3 malam ini karena khawatir akan dimintai pertanggung jawaban oleh para janda, anak yatim dan kaum miskin pada hari kiamat nanti”.
Di suatu malam beliau ke luar dari rumahnya untuk melakukan pengecekan langsung situasi kota Madinah. Dari kejauhan beliau melihat api yang menyala. Ketika mendekat didapatilah seorang ibu yang nampaknya sedang memasak. Umar bertanya: “Apa yang anda sedang masak dan kenapa memasak di pertangahan malam?” Sang ibu menjawab: “Sungguh saya memasak batu-batuan untuk menghibur anak-anakku yang kelaparan. Mudah-mudahan dengan melihat nyala api ini mereka tertidur sambil menunggu makanan ini siap untuk dihidangkan”.
Sang ibu itu melanjutkan: “Saya hanyalah seorang janda yang punya banyak anak. Umar sebagai pemimpin tidak bertanggung jawab membiarkan kami kelaparan seperti ini” sambil terus menerus menuduh Umar tidak bertanggung jawab tanpa menyadari bahwa yang berdiri di hadapannya adalah Umar sendiri.
Tanpa berbicara sepatah kata, airmata Umar mengalir membasahi pipi dan janggut beliau mendengarkan pengaduan ibu itu. Beliau kemudian meninggalkan ibu itu dan kembali ke Madinah malam itu juga langsung menuju baitul mal (gudang penyimpangan bahan-bahan bantuan). Diambilnya sekarung gandum dan beberapa potong lauk (syahm) dan dipikulnya sendiri kembali menuju tempat ibu tadi. Di tengah jalan beliau berpapasan dengan seorang sahabat. Sahabat terkejut melihat Umar memikul sekarung gandum. Beliau menawarkan diri untuk membawakan karung tersebut. Tawaran itu ditolak olehnya seraya berkata: “Akankah engkau mengambil alih tanggung jawabku di hadapan Allah kelak?”.
Sungguh contoh solidaritas sosial yang agung dari sahabat dan pemimpin agung. Bahwa accountability (pertanggung jawaban) bukan sekedar duniawi sifatnya, tapi yang lebih penting adalah pertanggung jawaban di Akhirat kelak.
Bukankah masanya, di saat jutaan manusia menjerit dalam genggaman kerisauan ekonomi, tiada pekerjaan, harga kebutuhan pokok yang melonjak, manusia seharusnya tersadarkan akan urgensi haji sosial. Di saat saudara-saudara sebangsa dan seiman hidup dan menghidupi keluarganya di bawah kolon-kolon jembatan itu, di saat-saat para ayah bercucuran keringat tanpa pernah mencukupi kebutuhan keluarganya, di saat ribuan anak-anak potensi bangsa harus kehilangan kesempatan belajar karena biaya pendidikan yang tinggi, kita tersadarkan oleh hajinya sang tukang sepatu. Haji yang terbangun di atas fondasi kesadaran sosial yang tinggi dan bukannya haji yang semakin membawa kepada prilaku egoistik atas nama Tuhan dan ridhaNya. Wallahu a’lam!
* Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah penulis rubrik "Kabar Dari New York"
Diceritakan bahwa di sebuah perkampungan terpencil ada seorang miskin yang bekerja sebagai tukang nyemir sepatu. Walaupun tukang penyemir sepatu dan miskin, semangat dan komitmennya untuk pengabdi kepada Penciptanya sangat besar. Bahkan tidak ketinggalan mengimpikan untuk dapat melaksanakan ibadah haji di suatu hari.
Untuk mewujudkan mimpi itu, disisihkanlah penghasilannya dari ke hari, bulan ke bulan, bahkan dari tahun ke tahun. Kalaulah seandainya bukan karena iman dan tawakkal yang tinggi, pastilah hamba Allah ini patah semangat, sebab uang yang dikumpulkan itu tidak pernah mencukupi biaya haji yang dibuthkan. Namun didukung oleh semangat penuh dan kerja keras, hingga suatu ketika dirasa bahwa bekal untuk berhaji telah mencukupi.
Segala persiapan pun dilakukan. Niat telah bulat, perbekalan ada di tangan. Kini tinggal memulai perjalanan itu. Hati hamba ini bersuka ria tiada habis memuji kebesaran Ilahi. Dan tibalah masa untuk memulai perjalanan itu. Tiba-tiba di saat akan meninggalkan rumahnya terdengar kabar bahwa tetangganya terjatuh sakit dan memerlukan bantuan keuangan untuk pengobatan.
Sang hamba itupun mengalihkan langkah kakinya menuju kediaman tetangga itu. Di lihatnya tetangganya tergeletak lemah, merintih menahan sakit dan berharap jika ada yang berkenan membantunya untuk meringankan bebannya itu. Diapun dengan ikhlas dan tekad karena mencari ridha Allah SWT memberikan bekal perjalanan hajinya kepada tetangga dengan harapan Allah memberikan keringanan bagi penderitaannya.
Singkatnya, sang hamba itu gagallah berangkat ke tanah suci. Sebuah ambisi pribadi pengabdian kepada Rabbnya yang telah lama diidamkan. Namun dalam hatinya dia puas karena mampu memberikan secercah harapan dan ketenangan kepada tetangga yang tergeletak lemah dan tak berdaya itu.
Dari kota terdekat dari kampung tukang sepatu ini juga ternyata ada beberapa orang yang menunaikan haji pada tahun yang sama. Bahkan beberapa di antaranya berangkat menunaikan ibadah haji untuk ke sekian kalinya.
Singkat cerita, tibalah masa wukuf di Arafah. Sang hamba yang gagal berangkat haji itu kembali menggeluti pekerjaan hari-harinya dengan penuh ikhlas. Gembira dalam setiap saat bersama ridha Tuhannya. Hatinya seolah bernyanyi ria dalam genggaman rahasia Ilahi. Bergerak mengikuti hempasan ombak takdir kekuasaanNya. Gerakan-gerakan tangannya selalu teriringi oleh pujian dan tasbih kepada sang Khaliq, Pencipta alam semesta.
Sementara itu, manusia di padang Arafah hanyut dalam kekhusyu’an ibadah mereka. Terdengar lafaz-lafaz dzikrullah dan pujian dalam AsmaNya. Siang yang terik itu menjadikan sebagian para haji tertidur diirngi tasbih dan kekhusyu’an
Salah seorang dari jama’ah yang berada di padang Arafah itu adalah seorang saudagar kaya dan terpandang dari sebuah kota dekat perkampungan hamba Allah yang miskin tadi. Sang saudagar ini tertidur pulas di tengah-tengah kekhusyu’an manusia memuja Rabb mereka. Dalam tidurnya itu, sang saudagar ini bermimpi ketemu dengan Rasulullah SAW.
Beliaupun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, siapakah di antara hamba-hamba Allah yang menunaikan ibadah haji tahun ini yang diterima sebagai haji mabrur?”
Rasulullah kemudian menjawab dengan tersenyum ramah: “Si fulan, seraya menyebutkan nama sang hamba miskin itu”.
Saudagar itu terkejut dan ingin tahu siapa gerangan dia yang beruntung itu. Maka beliaupun menyambung pertanyaannya: “wahai Rasulullah, siapa gerangan dia dan berasal dari mana?”
Rasulullah kembali menjawab dengan ramah: “Dia adalah seorang hamba Allah dari perkampungan fulan, seraya menyebutkan nama kampugnya”.
Mendengarkan itu, saudagar itu terkejut dan hampir tidak percaya. Mana mungkin, pikirnya, ada seseorang yang pergi haji dari kampung itu. Semua penduduknya adalah miskin. Penghasilannya tidak mungkin mencukupi untuk seseorang bisa menunaikan ibadah haji. Pergolakan batin sang haji itu yang setengah percaya dan tidak menjadikannya terbangun.
Setelah menunaikan ibadah hajinya, saudagar itu segera kembali ke kotanya. Keinginannya sangat besar untuk tahu siapa gerangan orang yang mendapatkan haji mabrur dari perkampungan yang disebutkan itu. Ditelusurinya kampung itu, tapi tak seorang pun mengaku melakukan ibadah haji. Lalu dia teringat nama yang disebutkan oleh Rasulullah SAW tadi, maka dicarinya orang itu. Ternyata dia hanyalah seorang tukang semir sepatu yang miskin.
Saudagar itu pun meminta sang penyemir itu menceritakan perihal dirinya, dan sampai Rasulullah SAW menjamin baginya haji mabrur. Maka dengan tenang tapi dengan hati yang bahagia sang penyemir itu bercerita panjang, mulai dari niatannya untuk haji, mengumpulkan perbekalan sedikit demi sedikit, hingga saat-saat pemberangkatan dan bantuannya kepada tetangganya yang membutuhkan.
“Barangkali niatku yang bulat dan kerja keras dan tekadku itu yang diterima. Sayapun ikhlas dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah SWT.”, katanya sambil tersenyum melirik pak haji.
Tak lupa juga sang penyemir sepatu ini menyampaikan selamat kepada sang haji seraya berdoa semoga mendapatkan haji mabrur.
Haji Mabrur
Di saat di Padang Arafah, Abu Bakar pernah ditanya oleh seorang sahabat: “apakah itu haji mabrur wahai Abu Bakar?”.
“Engkau akan melihat apakah haji kamu mabrur atau tidak di Madinah nanti” jawabnya singkat.
Haji mabrur memang menjadi impian setiap pelaku ibadah haji. Dalam titahnya, Rasulullah SAW menjelaskan: “dan haji yang mabrur tiada balasan baginya kecuali syurga”.
Untuk mendapatkan janji inilah, setiap Muslim akan melakukan berbagai upaya dan pengerbonan agar dapat menunaikan ibadah haji dan sekaligus melakukan berbagai ibadah yang dapat menjadikan hajinya mabrur (baik) atau maqbul (diterima).
Sayang, pemahaman tentang makna haji mabrur itu seringkali dibatasi oleh dinding-dinding ritual yang ketat. Dalam memahami mabrur atau tidaknya haji seseorang tidak atau jarang melihat jauh di balik dari praktek-praktek ritual yang terkait dengan haji. Perhatian sepenunya terkadang hanya pada sebatas apakah rukun-rukun, wajib maupun sunnah-sunnah haji terpenuhi secara baik.
Pertanyaannya, itukah semua tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan ibadah haji? Apakah ibadah haji sekedar dimaksudkan untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya? Atau barangkali sekedar dimaksudkan untuk membersihkan dosa-dosa masa lalu?
Jawabannya pasti tidak. Ibadah dalam Islam tidak maksudkan justeru untuk membangun “egoisme” pribadi, walau itu atas nama penyembahan. Ruku’ dan sujud seorang hamba seharusnya tidak dibangun di atas kepuasan pribadi atau keinginan untuk merasakan ketenangan dan kebahagiaan individu saja, walau itu atas justifikasi akhirat.
Inilah rahasia dari ungkapan Abu Bakar kepada seorang sahabat bahwa hajinya akan diketahui mabrur atau tidak di saat telah kembali ke Madinah (kampung halamannya). Bahwa di saat kembali berada di tengah-tengah kehidupan kesehariannya, terjadi perubahan yang positif. Imannya menjadi semakin “tajam” sehingga mampu menembus kuatnya batas-batas wujud material ini. Ibadahnya semakin “dalam” (ikhlas) dan bertambah. Apalagi, kelakuan sosialnya akan semakin tumbuh secara positif, menjadikan semua di sekitarnya merasai aman dan tenteram karena sang haji.
Haji Sosial
Berdoman kepada cerita si tukang sepatu maupun jawaban Abu Bakar R.A. di atas jelas bahwa haji adalah amalan ibadah dalam Islam yang memiliki konsekwensi sosial yang tinggi. Betapa tidak, panggilan berhaji dalam Islam itu sendiri dikumandangkan dalam bentuk panggilan “kemanusiaan”: Dan kumandangkanlah kepada manusia (wahai Ibrahim) untuk datang berhaji, niscaya mereka akan datang kepadamu (untuk berhaji) dengan berjalan kaki dan mengendarai onta-onta yang jinak. Mereka berdatangan dari seluruh penjuru yang jauh (Al Qur’an).
Ketika Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk berhaji dalam Al Qur’an, juga dipakai panggilan “kemanusiaan”: Dan bagi Allah atas manusia untuk berhaji kepada Baitullah, bagi siapa yang mampu (Al Qur’an).
Kedua hal dia atas menunjukkan ikatan sosial kemanusiaan yang terdapat dalam ibadah haji itu. Dan kenyataannya memang demikian. Di saat musim haji, mereka yang datang ke tempat-tempat suci itu hanya dipandang dengan satu pandangan, yaitu “pandangan kemanusiaan”. Mereka tidak lagi dipandang dalam ikatan-ikatan sosial dan keduniaan lainnya. Hanya satu kriteria yang membedakan di antara mereka, kriteria ketakwaan yang tidak ditentukan oleh afiliasi sosial manusia.
Kesadaran nilai sosial dalam haji ini seharusnya ditumbuh suburkan di saat menusia diterkam oleh gaya hidup egoistik dunia modern. Dinding-dinding pembatas sosial begitu kuat menjadikan manusia kehilangan koneksi batin. Dinding-dinding itu menjadikan manusia saling menilai, bukan lagi dengan penilaian kemanusiaannya, tapi lebih dekat kepada penilaian hewaninya. Manusia saling berbangga dengan ras, suku, warna kulit, kebangsaan, dan tentunya tingkatan perekonomiannya. Seolah semua inilah yang menentukan harga diri (dignity) seorang anak insan.
Kemampuan menembus dinding-dinding pembatas sosial menjadi sebab tumbuhnya rasa solidaritas yang tinggi. Kesenangan atau penderitaan sesama di sekitarnya akan mudah terlacak karena ada rasa kemanusiaan yang tinggi. Ada sensitivitas yang tajam untuk merasakan apa yang terjadi di sekitarnya. Terbangun kesadaran sosial yang tinggi sebagai akibat dari sensitivitas tadi. Perbedaan sosial atau status ekonomi tidak menjadi penghalang untuk merasakan apa yang terjadi di sekitarnya.
Disebutkan dalam sejarah bahwa suatu ketika Umar bin Khattab pernah berangkat ke Jum’atan sambil memegang perutnya. Ketika ditanya oleh seorang sahabat, apa gerangan yang terjadi? Umar menjawab: “Demi Allah saya lapar dan tidak akan merasakan kenyang selama anak-anak yatim dan kaum miskin masih merasakan kelaparan”.
Beliaulah yang pernah bertanya kepada seorang sahabtnya: “Apakah engkau tidur dengan baik semalam?”. Sahabat menjawab: “Iya Umar, saya tidur dengan nyenyak”. Umar memberitahu: “Demi Allah, saya tidak nyenyak tidur dalam 3 malam ini karena khawatir akan dimintai pertanggung jawaban oleh para janda, anak yatim dan kaum miskin pada hari kiamat nanti”.
Di suatu malam beliau ke luar dari rumahnya untuk melakukan pengecekan langsung situasi kota Madinah. Dari kejauhan beliau melihat api yang menyala. Ketika mendekat didapatilah seorang ibu yang nampaknya sedang memasak. Umar bertanya: “Apa yang anda sedang masak dan kenapa memasak di pertangahan malam?” Sang ibu menjawab: “Sungguh saya memasak batu-batuan untuk menghibur anak-anakku yang kelaparan. Mudah-mudahan dengan melihat nyala api ini mereka tertidur sambil menunggu makanan ini siap untuk dihidangkan”.
Sang ibu itu melanjutkan: “Saya hanyalah seorang janda yang punya banyak anak. Umar sebagai pemimpin tidak bertanggung jawab membiarkan kami kelaparan seperti ini” sambil terus menerus menuduh Umar tidak bertanggung jawab tanpa menyadari bahwa yang berdiri di hadapannya adalah Umar sendiri.
Tanpa berbicara sepatah kata, airmata Umar mengalir membasahi pipi dan janggut beliau mendengarkan pengaduan ibu itu. Beliau kemudian meninggalkan ibu itu dan kembali ke Madinah malam itu juga langsung menuju baitul mal (gudang penyimpangan bahan-bahan bantuan). Diambilnya sekarung gandum dan beberapa potong lauk (syahm) dan dipikulnya sendiri kembali menuju tempat ibu tadi. Di tengah jalan beliau berpapasan dengan seorang sahabat. Sahabat terkejut melihat Umar memikul sekarung gandum. Beliau menawarkan diri untuk membawakan karung tersebut. Tawaran itu ditolak olehnya seraya berkata: “Akankah engkau mengambil alih tanggung jawabku di hadapan Allah kelak?”.
Sungguh contoh solidaritas sosial yang agung dari sahabat dan pemimpin agung. Bahwa accountability (pertanggung jawaban) bukan sekedar duniawi sifatnya, tapi yang lebih penting adalah pertanggung jawaban di Akhirat kelak.
Bukankah masanya, di saat jutaan manusia menjerit dalam genggaman kerisauan ekonomi, tiada pekerjaan, harga kebutuhan pokok yang melonjak, manusia seharusnya tersadarkan akan urgensi haji sosial. Di saat saudara-saudara sebangsa dan seiman hidup dan menghidupi keluarganya di bawah kolon-kolon jembatan itu, di saat-saat para ayah bercucuran keringat tanpa pernah mencukupi kebutuhan keluarganya, di saat ribuan anak-anak potensi bangsa harus kehilangan kesempatan belajar karena biaya pendidikan yang tinggi, kita tersadarkan oleh hajinya sang tukang sepatu. Haji yang terbangun di atas fondasi kesadaran sosial yang tinggi dan bukannya haji yang semakin membawa kepada prilaku egoistik atas nama Tuhan dan ridhaNya. Wallahu a’lam!
* Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah penulis rubrik "Kabar Dari New York"
Haji Mabrur dan Tukang Sepatu
Reviewed by ASYIMAR
on
14.54
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar