Tuhan, Orang Miskin, dan Ulama
Alkisah, Tuhan bertanya, “Wahai Musa, apakah dirimu memiliki amal tulus yang diperuntukkan bagi-Ku?” Nabi Musa menjawab, “Benar, duhai Tuhan Pemeliharaku. Aku mendirikan shalat, menjalankan ibadah puasa, membayar zakat, dan menunaikan kewajiban-kewajiban lain.”
Tuhan berfirman, “Wahai Musa, shalatmu itu untuk memuaskan hasratmu, puasamu itu untuk menyehatkan tubuhmu, dan zakatmu itu untuk menyucikan hartamu. Demikian pula dengan kewajiban-kewajiban lain. Lantas, mana amalmu yang tulus, yang diperuntukkan bagiKu?”
Kontan tubuh Nabi Musa as bergetar, lalu bersujud seraya berkata, “Duhai Tuhan Pemeliharaku, tunjukkan padaku amal tulus yang hanya diperuntukkan bagiMu!”
Kemudian, Tuhan pun berfirman, “Hai Musa, pernahkah Engkau mengenyangkan perut orang lapar? Pernahkah engkau memberikan pakaian kepada orang yang tidak berpakaian layak? Pernahkah Engkau memuaskan dahaga orang yang haus? Pernahkah engkau memuliakan orang yang berilmu? Semua itu adalah amal ibadah murni, yang tulus diperuntukkan bagiKu.”
Ya, tujuan diciptakannya manusia adalah menghamba kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini biasa disebut dengan 'ubudiyyah.
Makna ibadah dan 'ubudiyah itu berbeda.
Ibadah. Kecenderungan ibadah terpatri kuat dalam fitrah manusia. Tanpa perintah Tuhan, kecenderungan ini tetap eksis dalam jiwa manusia.
Ibadah manusia bergantung pada sehat dan sakitnya fitrah.
Semakin sehat fitrah seseorang, kian kuat pula kecenderungannya untuk beri-badah. Begitu pula sebalikya.
'Ubudiyah bermakna menjadikan diri sebagai budak Tuhan dan benar-benar menjalankan segala perintah dan menjauhi laranganNya.
Oleh karena itu, 'ubudiyah sebagai tujuan penciptaan manusia, selalu didasari perintah-perintah Ilahi.
Dalam 'ubudiyah, terdapat dua noktah penting yang patut diperhatikan:
Pertama, sangat mungkin ibadah manusia dilatari nafsu. Demikianlah ibadah Iblis.
Manakala diperintah Tuhan bersujud di hadapan Nabi Adam, Iblis membangkang dengan sikap congkak. Tak cuma di situ, Iblis malah berdalih bahwa dirinyalah yang terbaik. Begitulah sikap beribadah yang ditopang hasrat dan nafsu pribadi, bukan untuk mereguk keridhaan Allah.
Kedua, hubungan manusia dengan sesama memiliki nilai penting di mata Tuhan. Hubungan ini mencermikan kedekatan dengan Tuhan. Makin besar bakti manusia kepada sesama, kian besar pula ridha Tuhan yang diraihnya. Manusia mejadi baik dan bernilai ditinjau dari hubungannya dengan sesama, bukan ibdahnya kepada Tuhan. Iman seseorang bakal dipertanyakan jika dia lalai memperhatikan tetangga yang sulit tidur karena menahan lapar. Rasul saw bersabda, “Tidak beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan.” Ketidakpedulian kepada lingkungan mampu meruntuhkan, bahkan menghilangkan keimanan. Orang yang tekun beribadah, namun tidak mempedulikan nasib orang lain sama seperti Iblis yang bangga dengan ibadahnya. Tentu, ibadah seperti ini tidak bernilai dan tertolak di sisi Tuhan.
Kepedulian kepada sesama dapat diwujudkan dalam bentuk pemenuhan hak mereka, baik hak untuk ditolong atau hak untuk dimuliakan. Kelompok manusia yang berhak ditolong adalah kaum lemah, tertindas, orang miskin, anak putus sekolah, anak yatim, dan sebagainya. Adapun kelompok manusia yang patut dimuliakan adalah para nabi, rasul, pemimpin yang adil, ulama, orang tua, guru, dan sebagainya.
Dalam pandangan al-Quran, ketakwaan identik dengan kepedulian sosial. Orang bertakwa adalah pribadi yang suka memberi kepada siapa saja yang membutuhkan dan meringankan beban penderitaan orang lain. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. (Q.S. al-Lail 5-7)
Ketidakpedulian dan pengabaian hak-hak orang lain mengakibatkan rahmat Tu-han berpaling dari pelakunya dan mendatangkan kesulitan. Al-Quran menyebut kelompok ini sebagai orang bakhil dan merasa cukup. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik (surga), maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. (Q.S. al-Lail 8-10)
Tiada ibadah yang terbaik selain memperhatikan dan memenuhi hak orang tertindas dan orang miskin. Demikian pula, merendahkan ulama berarti mengabaikan hak-hak mereka. Mengabaikan hak mereka berarti mengabaikan hak Tuhan. Jika Anda ingin mencari Tuhan, maka penuhilah hak orang-orang miskin dan ulama. Sesunggunya Tuhan bersama siapa saja yang mengenyangkan perut orang lapar, memberi pakaian kepada orang yang tidak berpakaian pantas, memuaskan dahaga orang haus, dan memuliakan orang berilmu.
__._,_.___
Alkisah, Tuhan bertanya, “Wahai Musa, apakah dirimu memiliki amal tulus yang diperuntukkan bagi-Ku?” Nabi Musa menjawab, “Benar, duhai Tuhan Pemeliharaku. Aku mendirikan shalat, menjalankan ibadah puasa, membayar zakat, dan menunaikan kewajiban-kewajiban lain.”
Tuhan berfirman, “Wahai Musa, shalatmu itu untuk memuaskan hasratmu, puasamu itu untuk menyehatkan tubuhmu, dan zakatmu itu untuk menyucikan hartamu. Demikian pula dengan kewajiban-kewajiban lain. Lantas, mana amalmu yang tulus, yang diperuntukkan bagiKu?”
Kontan tubuh Nabi Musa as bergetar, lalu bersujud seraya berkata, “Duhai Tuhan Pemeliharaku, tunjukkan padaku amal tulus yang hanya diperuntukkan bagiMu!”
Kemudian, Tuhan pun berfirman, “Hai Musa, pernahkah Engkau mengenyangkan perut orang lapar? Pernahkah engkau memberikan pakaian kepada orang yang tidak berpakaian layak? Pernahkah Engkau memuaskan dahaga orang yang haus? Pernahkah engkau memuliakan orang yang berilmu? Semua itu adalah amal ibadah murni, yang tulus diperuntukkan bagiKu.”
Ya, tujuan diciptakannya manusia adalah menghamba kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini biasa disebut dengan 'ubudiyyah.
Makna ibadah dan 'ubudiyah itu berbeda.
Ibadah. Kecenderungan ibadah terpatri kuat dalam fitrah manusia. Tanpa perintah Tuhan, kecenderungan ini tetap eksis dalam jiwa manusia.
Ibadah manusia bergantung pada sehat dan sakitnya fitrah.
Semakin sehat fitrah seseorang, kian kuat pula kecenderungannya untuk beri-badah. Begitu pula sebalikya.
'Ubudiyah bermakna menjadikan diri sebagai budak Tuhan dan benar-benar menjalankan segala perintah dan menjauhi laranganNya.
Oleh karena itu, 'ubudiyah sebagai tujuan penciptaan manusia, selalu didasari perintah-perintah Ilahi.
Dalam 'ubudiyah, terdapat dua noktah penting yang patut diperhatikan:
Pertama, sangat mungkin ibadah manusia dilatari nafsu. Demikianlah ibadah Iblis.
Manakala diperintah Tuhan bersujud di hadapan Nabi Adam, Iblis membangkang dengan sikap congkak. Tak cuma di situ, Iblis malah berdalih bahwa dirinyalah yang terbaik. Begitulah sikap beribadah yang ditopang hasrat dan nafsu pribadi, bukan untuk mereguk keridhaan Allah.
Kedua, hubungan manusia dengan sesama memiliki nilai penting di mata Tuhan. Hubungan ini mencermikan kedekatan dengan Tuhan. Makin besar bakti manusia kepada sesama, kian besar pula ridha Tuhan yang diraihnya. Manusia mejadi baik dan bernilai ditinjau dari hubungannya dengan sesama, bukan ibdahnya kepada Tuhan. Iman seseorang bakal dipertanyakan jika dia lalai memperhatikan tetangga yang sulit tidur karena menahan lapar. Rasul saw bersabda, “Tidak beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan.” Ketidakpedulian kepada lingkungan mampu meruntuhkan, bahkan menghilangkan keimanan. Orang yang tekun beribadah, namun tidak mempedulikan nasib orang lain sama seperti Iblis yang bangga dengan ibadahnya. Tentu, ibadah seperti ini tidak bernilai dan tertolak di sisi Tuhan.
Kepedulian kepada sesama dapat diwujudkan dalam bentuk pemenuhan hak mereka, baik hak untuk ditolong atau hak untuk dimuliakan. Kelompok manusia yang berhak ditolong adalah kaum lemah, tertindas, orang miskin, anak putus sekolah, anak yatim, dan sebagainya. Adapun kelompok manusia yang patut dimuliakan adalah para nabi, rasul, pemimpin yang adil, ulama, orang tua, guru, dan sebagainya.
Dalam pandangan al-Quran, ketakwaan identik dengan kepedulian sosial. Orang bertakwa adalah pribadi yang suka memberi kepada siapa saja yang membutuhkan dan meringankan beban penderitaan orang lain. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. (Q.S. al-Lail 5-7)
Ketidakpedulian dan pengabaian hak-hak orang lain mengakibatkan rahmat Tu-han berpaling dari pelakunya dan mendatangkan kesulitan. Al-Quran menyebut kelompok ini sebagai orang bakhil dan merasa cukup. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik (surga), maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. (Q.S. al-Lail 8-10)
Tiada ibadah yang terbaik selain memperhatikan dan memenuhi hak orang tertindas dan orang miskin. Demikian pula, merendahkan ulama berarti mengabaikan hak-hak mereka. Mengabaikan hak mereka berarti mengabaikan hak Tuhan. Jika Anda ingin mencari Tuhan, maka penuhilah hak orang-orang miskin dan ulama. Sesunggunya Tuhan bersama siapa saja yang mengenyangkan perut orang lapar, memberi pakaian kepada orang yang tidak berpakaian pantas, memuaskan dahaga orang haus, dan memuliakan orang berilmu.
__._,_.___
Tuhan, Orang Miskin, dan Ulama
Reviewed by ASYIMAR
on
07.42
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar