Sosok di Balik Cermin
Ku amati sosok yang menatap tepat di mataku itu. Siapakah kamu? ujarku. Ia menjawab dengan pertanyaan yang sama. Kugerakkan tanganku untuk menyentuhnya, namun ia malah menyambut dengan tangannya. Kemanapun kugerakkan tanganku, ia mengikutinya. Tak perlu kau ikuti aku, kawan! ujarku lagi. Namun lagi-lagi ia mengatakan hal yang sama denganku. Sadar diriku, bahwa wajahnya sama dengan wajahku. Tingginya, tubuhnya, rambutnya, pakaiannya semua sama dengan diriku. Suara yang dari tadi membalas kata-kataku pun juga terdengar seperti dari dalam tubuhku.
Itukah aku? Seperti itukah rupaku? Tak perlu waktu lama untukku menjadi bimbang, yang manakah sebenarnya diriku? Karena walaupun kami serupa, namun kami tampak berbeda. Tidak seperti dua orang saudara kembar, tapi seperti satu orang yang sangat berbeda. Makin lama ku amati, perbedaan makin kurasakan. Apalagi setelah kuingat tanggapan yang kudapat mengenai diriku. Aku menjadi semakin merasa berbeda dengan sosok yang masih menatapku dengan bingung itu. Tapi kami benar-benar mirip. Atau ternyata sosok itulah diriku?
Apakah itu wajah yang sebenarnya di lihat mereka? Ataukah itu hanya wajah yang kulihat sendiri? Dengan mata kepalaku sendiri? Dengan benak dan imajinasiku sendiri? Apakah itu kebijakan dan kedewasaan seperti yang mereka katakan? Ataukah kehampaan dan kerapuhan yang hina seperti yang kulihat?
Apakah mata itu benar-benar melihat apa yang dilihatnya? Apakah orang lain melihat seperti apa yang aku lihat ini? Apakah warna yang mereka lihat sama seperti warna yang kulihat? Apakah merah mereka tajam dan mencekam seperti merahku? Apakah biru langit mereka sebiru langitku? Apakah malam mereka gemerlap seperti malam-malamku yang penuh dengan bintang? Apakah manusia mereka seperti manusiaku yang memiliki keindahan tubuh yang sempurna? Ataukah buruk seburuk monster dalam dongeng malam?
Apakah telinga itu mendengar sesuai apa yang mereka dengar? Ataukah ia hanya mendengarkan apa yang ingin kudengar? Apakah ia mendengar seperti orang lain? Atau ia punya cara tersendiri untuk mendengarkan? Apakah ia mendengar segala sesuatu yang berarti, ataukah ia hanya berarti untuk mendengar segala sesuatu? Apakah ia menyimak, atau hanya mendengar?
Itukah bibir yang sering dikagumi karena keindahan bentuknya? Ataukah hanya dua buah daging terbalut kain kulit tipis yang terkatup? Apakah mereka benar-benar mengerti dengan apa yang keluar dari dalamnya? Apakah ia sempat mengeluarkan sesuatu yang bermakna, ataukah hanya kekosongan yang melenggang, yang keluar dengan angkuhnya tanpa peduli arah dan perasaan?
Apakah tubuh itu cukup tegap? Apakah tegap itu sendiri? Seperti inikah yang dikatakan tegap? Tanpa bentuk yang berarti? Hanya beberapa kotak dan lekukan kencang yang menjemukan? Namun bila memang inilah tegap itu, lalu apa yang telah atau pernah dilakukannya? Apa yang didapatkannya? Selain pandangan-pandangan lapar, jeritan serta terkaman para wanita atau lirikan dan nyanyian iri dari para pria? Selain ringan terasa dan kuat stamina…apakah hanya sebatas itu? Lalu bagaimana mereka yang bertubuh tidak tegap, tidak indah, namun mampu menegapkan dan memperkokoh tubuh-tubuh lain? Dan mereka yang tidak tinggi, namun mampu meninggikan langit-langit kehidupan. Mereka yang tidak sempurna, namun mampu mengisi dan menyempurnakan dunia. Sudahkah kesempurnaan ini mendapatkan predikat tersebut? Sebuah predikat yang melekat bukan karena dipaksa untuk ingat, melainkan karena hati yang telah terjerat.
Apakah itu tangan yang selalu memegang dan menggapai? Apa yang pernah ia gapai? Sesuatu yang berhargakah? Atau hanya sesuatu yang memiliki harga? Apakah ia menggenggam dengan kuat? Sekuat apa? Apakah sekuat genggaman seorang pejuang terhadap panji yang dibelanya? Ataukah hanya sekuat balita yang sering bingung karena benda yang digenggamnya tidak pernah bisa dinikmatinya, entah karena terus terjatuh karena genggaman yang belum kuat, atau karena ingin menggenggam segala hal yang menarik baginya? Apakah ia pernah terulur dan berpeluh ataukah ia hanya melulu terangkat dan tertengadah?
Kaki itu...apakah yang telah dilangkahinya? Apakah ia telah menginjak sebuah gunung hingga ia lebih tinggi dan lebih kuat dari gunung itu sendiri? Apakah ia telah berjalan mengarungi dunia? Dunia seperti apa yang ia arungi? rute mana yang telah ia lalui? Apakah ia berarti telah jauh berada di depan mereka yang sulit melangkah? Mereka yang tidak sempat atau harus terjatuh karena terantuk batu yang menghalangi jalan. Mereka yang tidak bisa membaca peta. Mereka yang tidak mengerti bagaimana cara untuk melangkah. Apakah karena kaki ini telah banyak melangkah dan jauh berjalan, maka menjadi sah untuk meninggalkan mereka yang jauh di belakang? Ataukah memang inginnya selalu melangkah untuk berlari? Dari masalah? Dari kenyataan? Dari dunia ini?
Tiba-tiba sosok di dalam cermin itu tersenyum sendiri. Sebuah senyum kemenangan. Kemudian tanpa ada yang meminta, dan tanpa berbasa-basi bibirnya terbuka dan sebuah suara keluar dari dalamnya.
“Jangan bingung, aku memang bukan yang terlihat pada dirimu. Tapi selama kau masih bisa melihatku dan menyadari keberadaanku itu cukup. Aku bukan kenangan yang menempel di tiap sudut hidupmu, aku bukan hantu yang meneror hari-harimu, aku bukan mimpi buruk yang akan merusak malam-malammu. Bukan. Aku hanyalah sosok di dalam cermin. Cermin yang tak terbuat dari lapisan kaca. Cermin yang tak mampu dijangkau oleh siapapun kecuali dirimu. Cermin yang hanya mampu dilihat oleh kesendirian dan kehadiran diri. Cermin yang tidak akan menerima bayangan siapapun kecuali dirimu sendiri. Cermin yang terbangun dari serpihan masa lalu dirimu. Cermin yang akan selalu mendampingimu. Cermin yang tidak akan memperlihatkan satu kebohongan pun. Cermin tempat kebaikan dan kejahatan masa lalu dan saat ini bertaut.”
Kemudian sambil mundur dan terus menjauh makin masuk ke dalam cermin, menjauhi diriku, ia terus berkata, “Akulah sosok yang terlahir dari cermin ini. Akulah sosok pemilik dan penghuni cermin ini. Akulah sosok di dalam cermin ini. Cermin hatimu.”
Sosok di dalam cermin itu pun menghilang sudah. Meninggalkan diriku yang masih menatap tempatnya tadi berdiri. Terdiam, merenung, berfikir, menghitung.
Tuhan, jika memang masih ada yang mampu kulakukan namun belum sempat atau memang hanya belum kulakukan, berikanlah kesempatan lagi bagiku untuk melakukannya dengan sebaik-baiknya. Izinkanlah aku memperbaiki apa yang masih belum baik. Bukan sebagai sebuah tanda keberadaan diriku di dunia ini dan bukan pula untuk segumpal benda yang lekang termakan zaman. Namun, sebagai tanda terima kasihku pada kesempurnaan yang telah Kau titipkan padaku. Rasa syukurku. Persembahanku pada tulusnya cintaMu. Wahai yang Maha Sempurna lagi Maha penerima Taubat.
Amiinn…
Ku amati sosok yang menatap tepat di mataku itu. Siapakah kamu? ujarku. Ia menjawab dengan pertanyaan yang sama. Kugerakkan tanganku untuk menyentuhnya, namun ia malah menyambut dengan tangannya. Kemanapun kugerakkan tanganku, ia mengikutinya. Tak perlu kau ikuti aku, kawan! ujarku lagi. Namun lagi-lagi ia mengatakan hal yang sama denganku. Sadar diriku, bahwa wajahnya sama dengan wajahku. Tingginya, tubuhnya, rambutnya, pakaiannya semua sama dengan diriku. Suara yang dari tadi membalas kata-kataku pun juga terdengar seperti dari dalam tubuhku.
Itukah aku? Seperti itukah rupaku? Tak perlu waktu lama untukku menjadi bimbang, yang manakah sebenarnya diriku? Karena walaupun kami serupa, namun kami tampak berbeda. Tidak seperti dua orang saudara kembar, tapi seperti satu orang yang sangat berbeda. Makin lama ku amati, perbedaan makin kurasakan. Apalagi setelah kuingat tanggapan yang kudapat mengenai diriku. Aku menjadi semakin merasa berbeda dengan sosok yang masih menatapku dengan bingung itu. Tapi kami benar-benar mirip. Atau ternyata sosok itulah diriku?
Apakah itu wajah yang sebenarnya di lihat mereka? Ataukah itu hanya wajah yang kulihat sendiri? Dengan mata kepalaku sendiri? Dengan benak dan imajinasiku sendiri? Apakah itu kebijakan dan kedewasaan seperti yang mereka katakan? Ataukah kehampaan dan kerapuhan yang hina seperti yang kulihat?
Apakah mata itu benar-benar melihat apa yang dilihatnya? Apakah orang lain melihat seperti apa yang aku lihat ini? Apakah warna yang mereka lihat sama seperti warna yang kulihat? Apakah merah mereka tajam dan mencekam seperti merahku? Apakah biru langit mereka sebiru langitku? Apakah malam mereka gemerlap seperti malam-malamku yang penuh dengan bintang? Apakah manusia mereka seperti manusiaku yang memiliki keindahan tubuh yang sempurna? Ataukah buruk seburuk monster dalam dongeng malam?
Apakah telinga itu mendengar sesuai apa yang mereka dengar? Ataukah ia hanya mendengarkan apa yang ingin kudengar? Apakah ia mendengar seperti orang lain? Atau ia punya cara tersendiri untuk mendengarkan? Apakah ia mendengar segala sesuatu yang berarti, ataukah ia hanya berarti untuk mendengar segala sesuatu? Apakah ia menyimak, atau hanya mendengar?
Itukah bibir yang sering dikagumi karena keindahan bentuknya? Ataukah hanya dua buah daging terbalut kain kulit tipis yang terkatup? Apakah mereka benar-benar mengerti dengan apa yang keluar dari dalamnya? Apakah ia sempat mengeluarkan sesuatu yang bermakna, ataukah hanya kekosongan yang melenggang, yang keluar dengan angkuhnya tanpa peduli arah dan perasaan?
Apakah tubuh itu cukup tegap? Apakah tegap itu sendiri? Seperti inikah yang dikatakan tegap? Tanpa bentuk yang berarti? Hanya beberapa kotak dan lekukan kencang yang menjemukan? Namun bila memang inilah tegap itu, lalu apa yang telah atau pernah dilakukannya? Apa yang didapatkannya? Selain pandangan-pandangan lapar, jeritan serta terkaman para wanita atau lirikan dan nyanyian iri dari para pria? Selain ringan terasa dan kuat stamina…apakah hanya sebatas itu? Lalu bagaimana mereka yang bertubuh tidak tegap, tidak indah, namun mampu menegapkan dan memperkokoh tubuh-tubuh lain? Dan mereka yang tidak tinggi, namun mampu meninggikan langit-langit kehidupan. Mereka yang tidak sempurna, namun mampu mengisi dan menyempurnakan dunia. Sudahkah kesempurnaan ini mendapatkan predikat tersebut? Sebuah predikat yang melekat bukan karena dipaksa untuk ingat, melainkan karena hati yang telah terjerat.
Apakah itu tangan yang selalu memegang dan menggapai? Apa yang pernah ia gapai? Sesuatu yang berhargakah? Atau hanya sesuatu yang memiliki harga? Apakah ia menggenggam dengan kuat? Sekuat apa? Apakah sekuat genggaman seorang pejuang terhadap panji yang dibelanya? Ataukah hanya sekuat balita yang sering bingung karena benda yang digenggamnya tidak pernah bisa dinikmatinya, entah karena terus terjatuh karena genggaman yang belum kuat, atau karena ingin menggenggam segala hal yang menarik baginya? Apakah ia pernah terulur dan berpeluh ataukah ia hanya melulu terangkat dan tertengadah?
Kaki itu...apakah yang telah dilangkahinya? Apakah ia telah menginjak sebuah gunung hingga ia lebih tinggi dan lebih kuat dari gunung itu sendiri? Apakah ia telah berjalan mengarungi dunia? Dunia seperti apa yang ia arungi? rute mana yang telah ia lalui? Apakah ia berarti telah jauh berada di depan mereka yang sulit melangkah? Mereka yang tidak sempat atau harus terjatuh karena terantuk batu yang menghalangi jalan. Mereka yang tidak bisa membaca peta. Mereka yang tidak mengerti bagaimana cara untuk melangkah. Apakah karena kaki ini telah banyak melangkah dan jauh berjalan, maka menjadi sah untuk meninggalkan mereka yang jauh di belakang? Ataukah memang inginnya selalu melangkah untuk berlari? Dari masalah? Dari kenyataan? Dari dunia ini?
Tiba-tiba sosok di dalam cermin itu tersenyum sendiri. Sebuah senyum kemenangan. Kemudian tanpa ada yang meminta, dan tanpa berbasa-basi bibirnya terbuka dan sebuah suara keluar dari dalamnya.
“Jangan bingung, aku memang bukan yang terlihat pada dirimu. Tapi selama kau masih bisa melihatku dan menyadari keberadaanku itu cukup. Aku bukan kenangan yang menempel di tiap sudut hidupmu, aku bukan hantu yang meneror hari-harimu, aku bukan mimpi buruk yang akan merusak malam-malammu. Bukan. Aku hanyalah sosok di dalam cermin. Cermin yang tak terbuat dari lapisan kaca. Cermin yang tak mampu dijangkau oleh siapapun kecuali dirimu. Cermin yang hanya mampu dilihat oleh kesendirian dan kehadiran diri. Cermin yang tidak akan menerima bayangan siapapun kecuali dirimu sendiri. Cermin yang terbangun dari serpihan masa lalu dirimu. Cermin yang akan selalu mendampingimu. Cermin yang tidak akan memperlihatkan satu kebohongan pun. Cermin tempat kebaikan dan kejahatan masa lalu dan saat ini bertaut.”
Kemudian sambil mundur dan terus menjauh makin masuk ke dalam cermin, menjauhi diriku, ia terus berkata, “Akulah sosok yang terlahir dari cermin ini. Akulah sosok pemilik dan penghuni cermin ini. Akulah sosok di dalam cermin ini. Cermin hatimu.”
Sosok di dalam cermin itu pun menghilang sudah. Meninggalkan diriku yang masih menatap tempatnya tadi berdiri. Terdiam, merenung, berfikir, menghitung.
Tuhan, jika memang masih ada yang mampu kulakukan namun belum sempat atau memang hanya belum kulakukan, berikanlah kesempatan lagi bagiku untuk melakukannya dengan sebaik-baiknya. Izinkanlah aku memperbaiki apa yang masih belum baik. Bukan sebagai sebuah tanda keberadaan diriku di dunia ini dan bukan pula untuk segumpal benda yang lekang termakan zaman. Namun, sebagai tanda terima kasihku pada kesempurnaan yang telah Kau titipkan padaku. Rasa syukurku. Persembahanku pada tulusnya cintaMu. Wahai yang Maha Sempurna lagi Maha penerima Taubat.
Amiinn…
Sosok Dibalik Cermin
Reviewed by ASYIMAR
on
13.21
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar